Selasa, 17 Maret 2009

PENDIDIKAN TINGGI DI YOGYAKARTA : TANTANGAN DAN HARAPAN

PENDIDIKAN TINGGI DI YOGYAKARTA :
TANTANGAN DAN HARAPAN

Oleh Ben Senang Galus
“poli oke awon tanah manggarai, ngo nggirung kawe ilmu, kudut todo ranga one sa’i gala kudut penong bokong. Lalong pondong du ngom, lalong rombeng dut kolem. Eme toe di penong bokong toe gorik te kole. Le rahit po paci kudut paci dengkir tain. Lau tanah mese do kakar. Konem mola toe toto hau kakar tanah toe gorik te pelet, ae toe di haeng bate kawen, agu toe dicumang bate betuan. Eme kole neka ba kope kanang, porong ba wua nangka one lime wanangm, ba wua kempo one lime leom. Kudut naka lise amang, regek taungs ise ende, imus sangget ase ka’e.

Eme jiri ata mese mbegel, tegi dami dami emam agu endem, nggereta koe lemasm, nggerwa koe atim, ae manggarai tanah dading agu poro putes, gereng meu cengka gerak. Weang salang. Ai do kit cengkang salang toe di weang taungs le ata mese, ae ise ho’o ga reme nggirung kawe dani agu rejeki. Sangget uma manga lencet, sangat tae agu pande mangga waheng. Neka hemong morin agu ngaran, jari agu dedek, nggitu kole kone (koni) agu nao, ne nggitu pede dise ende agu ema one mai tanah manggarai”.

A. Catatan Pengantar
Tidak kita sadari, saat ini kita sudah berada pada abad 21. Suatu abad yang penuh dengan tantangan, mengingat sumber daya alam yang semakin menipis dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat yang jauh lebih berat dan kompleks sebagai akibat dari arus besar globalisasi yang terus menguat. Apabila dalam hukum alam dinyatakan bahwa energi yang lebih besar akan mengalir ke energi yang lebih kecil, ternyata dalam sistem global, yang kuat akan menghisap yang lemah, sehingga ketimpangan anatr negara maju dan negara berkembang akan semakin besar. Globalisasi juga telah menimbulkan ketidakadilan, karena negara berkembang masih sulit untuk mengimbangi kemampuan berkompetisi dan kemampuan mengikuti sistem pasar.
Globalisasi selain berpengaruh pada tatanan ekonomi, perkembangan Iptek telah pula mengubah nilai sosial, budaya dan lingkungan. Masyarakat yang tidak beradaptasi terhadap perubahan ini, dipastika akan menjadi masyarakat yang tertinggal.

Globalisasi ekonomi dengan perdagangan bebas sebagai jargon utamanya semakin dipacu oleh perkembangan kemajuan iptek yang semakin pesat. Sebagai konsekuensinya, persaingan antar umat manusia, antar kalompok dalam masyarakat, antar perguruan tinggi, antar bangsa menjadi semakin ketat. Dalam tatana kehidupan masyarakat global, masyarakat akan semakinterdorong untuk memasuki kehidupan masyarakat mega kompentitif . Tidak ada tempat pada masyarakat diberbagai belahan dunia tanpa kompentisi. Kompetisi antar bangsa, antar perguruan tinggi telah semakin mengemuka dan menjadi prinsip hidup yang baru karena dunia semakin terbuka dan bersaing dalam intensitas yang semakin tinggi. Faktor terpenting agar bisa berkompentisi dalam persaingan itu adalah pendidikan.

Jean Jacques Servan Screiber, dalam buku, The Japan Callenge , menulis begini : ketika negara adikuasa AS berlomba membuat senjata dan membangun militernya, maka jepang sedikitpun tidak pernah menghiraukannya. Sebab jepang menyadari kejatuhannya pada perang dunia ke- II, disebabkan oleh superioritas militer dan dengan demikian menurut Jean Jacques servan screibersuperioritas dibidang militer dan persenjataan tak akan memberikan arti bagi dunia dan kesejahteraan penduduknya. Maka negeri itupun membiarkan negara adikuasa untuk berlomba, sementara Jepang sendiri berusaha mengarahkan segala sumber dayanya untuk pengembangan kegiatan intelektual, penelitian ilmiah dan kreativitas di bidang ekonomi demi kesejahteraan penduduknya melaluii pendidikan.

Hal ini memang sudah menjadi fakta sekarang ini, dimana Jepang merupakan negara yang mempunyai pendapatan perkapitatertinggi di dunia dan sekaligus menjadi negara “adikuasa” dalam bidang perekonomian, dan negara itupun menjadi kreditorterbesar bagi negara- negara miskin, termasuk Indonesia. Jean Jacques Servan Screiber menggambarkan, Jepang sebagai negara yang akan memimpin dunia pada abad ini dan mendatang bersama- sama dengan Jerman. Dua negara yang pernah kaalah dalam perang dunia ke- II.

Dalam buku yang dikutip tadi, jean jacques servan screiber, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi “adikuasa” pertama dan menjadi faktor determinan pada masa depan ketimbang militer. Seperti halnya sekarang ini, tantangan yang paling besar yang dihadapi dunia adalah perang ekonomi, tapi pohonya tetap pada satu hal, Everything Depends On Education .

Bagi sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia, pendidikan harus ditempatkan pada skala prioritas dalam program pembangunannnya maka secara otomatis uang akan mengalir dengan sendirinya.

Apa yang ditulis oleh Jean Jacques Servan Schreiber diatas, sesungguhnya mau memperlihatkan kepada kita bahwa negara- negara yang berpengaruh maupun yang sudah mapan pada semua segi kehidupan pun, pendidikan tetap menjadi pilihan prioritas dalam program pembangunan. Pendidikan menjadi pilar utama dari sekian pilar lainnya. Sudah menjadi adagium umum bahwa, sebuah negara disebut beradab dan maju pasti pendidikan di negara tersebut sangat maju pula. Hal itu menjadi jelas betapa dinamika pendidikan menjadi pangkal bagi proses kemajuan suatu bangsa, kendatipun negara- negara besar itu sudah menjadi makmur dan maju dan jauh meninggalkan negara- negara berkembang, baik dalam kemakmuran ekonomi maupun penguasaan bidang- bidang strategis lainnya.

B. WTO dan Liberalisasi Pendidikan
Pendidikan merupakan aspek penting dalam era globalisasi. Sebab pendidikan telah terbukti sebagai sebuah industri yang sangat menguntungkan, dan siap dingosiasikan (ripe to negotiate) sebagai sebuah komoditas dalam arus perdagangan internasional. “trade in higher education is a million dollar busness...” (UNESCO, 2001); Rapidly growing however, is the private “education industry” ... this currently generates $ 1000 billion in the US alone...” (Education International, 2001).
Liberalisasi sektor pendidikan di dunia internasional difasilitasi oleh WTO (World Trade Organization) dalam GATS (General Agreement On Trade In Service) yang bertujuan untuk membuka akses pasarr terhadap sektor jasa. Pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa ini bersama dengan 11 bidang jasa lainnya (bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, rekreasi, transportase dan jasa lainnya). Komitmen ini sudah dibahas dalam WTO Round di Meksiko pada bulan september 2003.

Munculnya istilah globalisasi pendidikan tinggi yang menganggap PT sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Sebagai catatan pemerintah RI telah meratifikasi WTO melalui UU Nomor 7/1994 dengan demikian sejak saat itu kita menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya.

Secara umum kebijakan seperti ini memang akan memberikan landasan bagi bangsa Indonesia untuk hidup di era globalisasi, tetapi tidak untuk bersaing. Karena paradigma dalam sistem pendidikannya tidak mempersiapkan suatu mekanisme yang memberi dan menjamin kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Sebagai tindak lanjut dari kebijakan ini maka ke depan semua PTN akan berubah layanan menjadi BHMN. Sebagai dampak dari perubahan ini, biaya kuliah di PTN meningkat sebesar 300 % menjadi 400 %, ini menunjukan bahwa liberalisasi pendidikan dapat dimmaknai sebagai upaya kapitalisasi pendidikan.

Sejalan dengan hal tersebut, komitmen liberalisasisektor pendidikan dalam GATS memang berfokus pada pendidikan tinggi (high education) dan pendidikan untuk orang dewasa (adult education). Pendidikan tinggi di Indonesia sendiri kini tidak lagi dikategorikan sebagai layanan publik, tetap lebih pada sektor profit. Akibatnya pendidikan tinggi di Indonesia menjadi lebih kompantibel dengan sistem pasar bebas dan akan dapat terus dituntut pembukaan akses pasarnya dalam GATS.

WTO sendiri menyadari betul substansi GATS bersifat strategis untuk beberapa negara, sehingga masih dimungkinkan adanya kelonggaran, baik dalam bentuk revisi, special statuses maupun exemptions, selama komitmen untuk membuka pasar tidak diganggu gugat.

Meskipun ECOSOC (2006) telah menyatakan kepriatinannya melihat kondisi pendidikan saat ini, namun usaha melindungi pendidikan publik dalam konteks pasar bebas akan menghadapi hambatan serius dalam mekanisme WTO. Beberapa negara cukup berhasil melindungi pendidikan publik mereka karena mereka telah memiliki aturan- aturan proteksionis yang berlaku sebelum komitmen liberalisasi pendidikan dicanangkan.

Sampai sejauh ini sekitar lebih dari 50 negara anggota WTO telah mengindikasikan komitmen “pembukaan pasar secara penuh” (full access to market) di sektor pendidkan tinggidan adult education. Masih sulit buat publik untuk mempercayai dokument itu, yang salah satu negara diantaranya adalah Indonesia. Diharapkan hingga hari ini tim negosiator dan draft komitmennya dapat lebih diekspos secara publik, agar masyarakat selaku konsumen utamanya memperoleh pesanyang tepat tentang komitmen progressive- liberalization.

Oleh karena pendidikan termasuk dalam sektor jasa yang diperdagangkan, maka persaingan produk perekonomian di pasar dunia tidak lagi bertumpu pada kekayaan sumber daya alam atau biaya buruh yang murah, namun ditentukan oleh inovasi (teknologi) dan atau kreativitas dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu peranan perguruan tinggi semakin penting dalam persaingan global. The Economist, menyatakan bahwa “portrays the universitty not just as a creator of knowledge, a trainer of young minds an a transmitter of culture, but also as a major agent of economics growth :the knowledge factory, as it were, at the center of knowledge economy”.

OECD (Organization for Economics Co- operation and Development, 1996) mengatakan bahwa, the knowledge- based ecnomy as creation, utilization and dessemination of knowledge and information are vital to ecnomics growth strategy .

Salah satu upaya penting utuk beradaptasi terhadap perubahan dunia adalah reformasi pendidikan.

Indonesia juga telah melaksanakan reformasi pendidikan melalui program yang disebut HELTS (higher education long term strategies) 2003-2010 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tanggal 1 April 2003. HELTS diharapkan dapat menjawab tantangan peningkatan daya saing bangsa, melalui quality assurance, access and equity, autonomy. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut PT di Indonesia telah menetapkan 3 kebijakan dasar yaitu nation’s comprehensive, autonomy and organizational healt.

Tantangan penyelenggara pendidikan tinggi di masa mendatang yang akan semakin kompleks, terutama dalam menghadapai arus globalisasi ekonomi, kompetisi internasional, kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ipteks.

Menurut Kim Carter (2004) dalam publikasinya learning for the 21 century:”today’s edication system faces irrelevance unless we bridge to gap between how students live and how they lern”. Menurutnya, ada enam elemen kunci belajar di abad 21 adalah:
1. emphasize core learning subjects misalnya mathematics, science, foreign language, civic, government,economics, etc.
2. emphasize leaning skills yang terdiri atas information and communication skill, thinking and problem solving skills, interpersonal and self-directional skills.
3. use 21 cnetury tools do develop learning skills yang terdiri atas ICT literacy-“the interest, attitude, and ability to appropriatelty used digital technology an communication tools to acces, manage, integrate and evaluate information, construct new knowledge, and communicate with others inorder to participate effectively in society.
4. teach and learn in 21 century context yang terdiri atas real world examples, application and experience both inside and outside of school, relevant, angaging and meaningful to students lives. Outside the four classroom walls. Reaches out to communities, emplyers, community members and parents to reduce the boundaries that devide school from the real world.
5. teach and learn 21 century yang terdiri atas global awareness, financial, economics and bussiness literacy, civic literacy
6. teach 21 century assessments that measure 21 century skills yang terdiri atas a balance of assessment, high quality standized test for accountability purpose, classroom assessments for improving teaching and learning.use new information technologies to increase efficiency and timeliness.

Organisasi WTO dalam mengatur sistem perdagangan internasional membedakan dalam dua kategori yaitu kategori perdangangan barang dan perdagangan jasa. Selanutnya mekanisme perdagangan barang diatur dalam GATT (General Agreement On Tariff And Trade) sedangkan perdagangan jasa di atur dalam GATS (General Agreement On Trade In Services). Sampai saat ini WTO telah membagi batasan sektor jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia, adapun satu dari belasan sektor tersebut adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan dimasukan dlam sektor jasa maka pendidikan menjadi satu yang dijualbelikan. Jadi, praktek perdagangan atau jual beli jasa pendidikan hukumnya sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaca mata WTO .

Beberapa model atau bentuk perdagangan atau jual beli jasa pendidikan (tinggi) versi WTO dapat dijelas sebagai berikut:

Pertama, disebut model cross border supply; dalam hal ini suatu lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan kepada konsumen yang berada di negara lain tanpa kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa pendidikan tersebut ke negara komsumen. Contoh riilnya banyak orang Indonesia mengikuti program pendidikan jarak jauh (distance learning) serta pendidikan maya (virtual education) yang diselenggarakan negara manca, misalnya united kingdom open university (inggris) dan michigan university (AS). Kedua universitas tersebut tidak perlu hadir secara fisik di Inonesia kan tetapi jsa pendidikanya dibeli orang-orang Indonesia yang tinggal di Indonesia.

Kedua, disebut model consumtion abroad, dalam hal ini lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain. Contoh saat ini terdapat ribuan pemuda Indonesia belajat di perguruan tinggi ternama di Australia seperti Monash University dan lain sebagainya. Demikian sebaliknya banyak pemuda asing berlajar di beberapa PT kita di tanah air.

Ketiga, disebut model movement of natural persons, dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirim personelnya ke negara konsumen. Contohnya, banyak PT kita yang memperkerjakan tenaga dosen dari luar negeri demikian sebaliknya, banyak tenaga pengajar kita mengajar di luar negeri.

Keempat, disebut model commercial presence yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga sutau negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut. Hadirnya PTA dari manca untuk menjual jasa pendidikan tinggi kepada konsumen Indonesia adalah contoh yang sangat tepat untuk model perdagangan jasa pendidikan ini.

Dengan liberalisasi pendidikan mau tidak mau dampak langsungnya adalah bagi PT gurem cepat atau lambat akan mengalami kolaps, dengan sumber daya manusia yang terbatas, sarana prasarana terbatas juga. Juga dampak buruk lainya adalah mahasiswa kita akan tidak mampu berkompetisi pada era kesejagatan global itu.

C. Mahasiswa Manggarai Dan Kehidupan Kampus: Sebuah Catatan Kritis
Bagaimana mahasiswa Manggarai menghadapi persaingan antara negara saat ini? Cukup sulit meramalnya. Namun dengan melihat kondisi objektif dialami mahasiswa Manggarai saat in. berikut ini saya mencoba mengambarkan kehidupan mahasiswa Manggarai saat ini.

Beberapa abad yang lalu, adalah seorang filsuf Yunani, Diagne le Cynique, menyalakan obor di siang hari, seraya berjalan di tengah kerumunan manusia. Ketika salah seorang dari kerumunan itu bertanya perihal aksinya itu, sang filsuf menjawab “uffatisu an insanin” artinya “aku sendang mencari manusia”. Apa yang dilakukan sang filsuf tadi sebenarnya beranjak dari hasil refleksi yang intens atas kondisi kehidupan manusia pada zaman dan tempatnya, kondisi kehidupan mana sudah terlalu jauh dari alam manusiawi karena tergilas oleh semangat rationalisme yang cukup tinggi. Oleh semangat rationalisme yang berlebihan, manusia kala itu lebih tampit sebagai animale rationale ketimbang ens sociale.

Mengamati kehidupan mahasiswa (one mai tana Manggarai) saat ini, barangkali sudah saatnya para rektor di PT tempat ia belajar mengadakan aksi serupa seperti filsuf tadi sambil beralan di tengah kerumunan mahasisiwa, seraya menyampaikan uffatisu an mahasiswamanggarainin, (aku sedang mencari mahasiswa Manggarai). Hal ini beranjak dari hasil refleksi intens saya selama bebrapa tahun terakhir in dimana banyak mahasiswa Manggarai di PT saat ini sedang menajauhi kehidupan kampus yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah pendidikan tinggi umumnya. Mahasiswa yang semestinya menampilkan etos dan seamangat ilmiah, justru bagitu tumpul di PT. budaya akademis yang semestinya bertumbuh subur, namun justru tertimpa kemarau panjang . Kehidupan mahasiswa saat ini semakin sepi dan jauh dari kegiatan intelektual yang menjadi tanda khas kehidupan kampus. Itulah salah satu fakta empiris mahasiswa Manggarai kita saat ini. Mereka cenderung malas berpikir , malas membaca serba gampang.

Sejarah kehidupan kampus awal mulanya mahasiswa mempunyai otoritas penuh untuk menyelenggarakan kegiatan perkuliahan. Para profesor hanya semata-mata atau tak lebih dari “pengajar-pengajar priadi yang bertualang”, yang bebas dari segala macam ketertarikan sebuah kampus. Mahasiswa kala itu dengan penuh semangat mendatangkan para profesor ke kampus demi mendatangka ilmu sebanyak-banyaknya dam sedalam-dalamnya. Pokoknya suasana kampus ketika itu penuh dengan kegiatan ilmiah atau stadium generale.

Persoalan ini memang tidak berdiri sendiri. Seiring dengan munculnya kebijakan pemerintah menetapkan kebijakan satuan kredit semester (SKS) pada PT maka tradisi kegiatan ilmiah tadi lenyap pula, dimana hubungan mahasiswa dengan kampusnya besifat “loco parentis ”. Dengan pengertian bahwa para mahasiswa ibarat “anak asuhan” dari sebuah PT yang bertanggung jawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi mahasiswa. Bersamaan dengan itu, munculah peran-peran mahasiswa sebagai “santri-santri” sebagai pelanggan biasa yang mengambil berbagai pelajaran untuk mencari gelar dan selebihnya sebagai “bohemians” (petualang-petualang_ atau pemisah diri yang berada di kampus, yang memisahkan dirinya dari kegiatan akademis yang sungguh-sungguh. Peran seperti itu tentu saja memancarkan kadar kehidupan akademis mahasiswa yang berbeda-beda.

Krisis kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa dengan mudah di pantau dari kreativitas penelitian dan menulis, karena kemampuan penelitian dan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kebiasaan membaca. Maka, jika mahasiswa diserahi tugas penelitian dan menulis, meraaka bisa menggunakan jasa orang lain atau bahkan membeli hasil penelitian dan tulisan orang lain yang dengan mudah kita temukan di pojok-pojok kota ini. Di sana terdapat ratusan hasil penelitian dan tulisan orang dengan mudah para mahasiswa membeli atau dengan cara foto kopi. Apalagi sekarang ini mudah diakses lewat internet melalui fasilitas google dengan melakukan cara-cara “copy and paste” atau “cut and glue”.

Jelaslah paradoksal karena bahkah sering bertolak belakang, konon katanaya Yogyakarta sebagai kota kaum intelektual, namun di sisi lain praktek-praktek seperti ini sering terjadi, karena itu sebuah bentuk pengikisan integritas intelektual serta sebuah bentuk pengingkaran kebenaran. Sesungguhnya, hal demikian erat hubungannya dengan kondisi objektif sebuah PT yang tidak pernah memperdulikan segi-segi penalaran atau kualitas mahasiswa.

Dalam terminologi Julien Benda (la Trahison des Clercs, 1927) mangatakan bahwa para cendikiawan atau ilmu yang mengingkari kebenaran dan keadilan demi kepentingan primordial dan politik bisa disebut pengkhianat moral . Pada hakekatnya cendekiawan atau ilmuwan tidaklah memiliki tujuan praktis. Motif kegairahan mereka adalah bakti kepada kebenaran atau bahkan untuk memperoleh keuntungan sosial, politik dan kebenaran. “kerajaanku bukan dari dunia ini”, itulah seharusnya kata hati setiap cendekiawan atau ilmuwan.

La Trahison des Clercs memang sebuah kritik terhadapa kecenderungan dan kegairahan para intelektual atau cendekiawan Perancis awal abad XX untuk masuk dalam kancah politk. Kritis itu masih relevan untuk kita hubungkan kepada mahasiswa kita di saat ini. Kenbanyakan mahasiswa kita saat ini sudah keluar dari dasar profesi keilmuan dan menyerahkan diri pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan kebendaan semata. Maka mahasiswa seperti ini bisa diklasifikasikan, meminjam Grigoro sebagao ‘cendekiawan pengecut’. Mereka hanya mau menciptakan sesuatu yang serba gampang, tanpa melalui kerja keras .

Entah besar atau kecil, bahwa kultur akademis mahasiswa telah kehilangan semangat yang dipengaruhi oleh satu kondisi obyektif sebuah PT, yang terwujud dalam beberapa gejala dominan atau berupa komitmen yang diemban atau karakteristik maslah yang dihadapi oleh sebuah PT yang digerogoti banyak penyakit, seperti miskin dana, kompetensi dan kapabilitas dosen yang masih rendah serta fasilitas kampus yang serba minim. Demikian pula PT sekarang, lebih mirip dengan sebuah pabrik konsumsi masal ketimbang lembaga pendidikan profesional sehingga kualitas lulusannya sangat diragukan. Oleh karena itu, sagala apa yang tak perlu untuk penelitian atau demi keterampilan profesional yang dicari semakin tersingkir.

Selain itu, pada diri mahasiswa, hidup bersenang-senang dan memboroskan waktu adalah hal yang biasa. Dan bahwa di Indonesia masih ada mahasiswa yang sekali-kali menyanyikan lagu kuno “gaudeamus igitur iuvenes dum sumus” (bersenang-senang selama kita masih muda), merupa suatu ironi yang tak disengaja mengingat mereka berada di bawah tekanan sistem SKS dan sekian banyak peraturan lain .

Edward Shils menggolong PT ke dalam beberapa kelompok yakni universitas masa, universitas pengabdian masyarakat, universitas politik, universitas yang didominasi pemerintah, universitas yang mengalami birokratisasi, universitas yang miskin dana, universitas di bawah sorotan publisitas, universitas penelitian, universitas yang terpecah belah dan universitas yang kehilangan semangat.

Betapapun PT mempunyai masalah tersendiri, semua PT di mana pun juga mempuyai misi yang tetap sama yakni mempertahankan kampusnys sebagai pusat riset, pusat studi, pusat pengembangan intelektual, wawasan, kepribadian dan peradaban. Dengan demikian, kampus tidak hanya menghasilkan kaum cerdik cendikia, tetapi pribadi-pribadi yang utuh yang seimbang intelektual dan mental. Salah satunya adalah mahasiswa harus mampu membangun kehidupan akandemis yang baik dan bermutu dalam suasana diskusi atau seminar-seminar, memecahkan persoalan bangsa, ketimbang bersantai ria di mall atau berjoget ria di kafe atau utak-ati8k HP atau sering lonto leok, kumpul-kumpul yang tidak produktif.

D. Budaya Akademis
Mahasiswa tidak cukup sekadar menghadiri kuliah. Lebih datiitu mahasiswa harus memiliki naluri intelektual memadai yang harus tampak dalam semangat scientific ewarness dan semangat scinetific inquiry. Kedua semangat itu merupakan faktor kunci bagi tumbuhnya budaya akademis dalam kehidupan akan kampus seorang mahasiswa.

Perkuliahan hanyalah satu elemen penting, namun bukan satu-satunya jantung utama yang menggerakan kemajuan akademi mahasiswa. Sang humanis Soedjatmoko menegaskan bahwa jantung kehidupan kampus umumnya dan kehidupan akademis mahasiswa khususnya bukanlah terletak pada proses belajar mengajar. Menurutnya ada tiga elemen penting yang menjadi modal pertumbuhan kehidupan akademis mahasiswa.

Pertama, perpustakaan atau sering disebut intelectual machine” sebagai mesin yang menggerakan sendi-sendi kehidupan intelektual mahasiswa karena mahasiswa lebih sering memanfaatkan jasa orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, laboratorium, sebagai tempat untuk melatih mahasiswa dalam berbagai keterampilan dan untuk kepentingan pengamatan dan penelitian demi menunjang kegiatan akademis secara keseluruhan.ketiga, hubungan koperatif dosen-mahasiswa. Antara mahasiswa-dosen perlu dikembangkan relasi partnership demi terwujudnya suatu hubunga koperatif yang harus dilandasi oleh samangat keterbukaan, dialog, jujur dan saling pengertian yang tinggi.

Edward Shils mengatakan bahwa kebesaran sebuah kampus tidaklah ditentukan oleh lancarnya dan tertibnya seluruh peraturan akademis dan proses perkuliahan tetapi sejauh mana seluruh awraga kampus menegakan dan menjunjung tinggi etika akademis yang ditandai oleh semagat dan kejujuran ilmiah. Budaya bermalas-malasan, berlajar moral minimalis, budaya plagiat tau budaya foto kopi merupakan bentuk pengkhianatan intelektual menurut terminologi Julian Benda. Ketakberdayaan mahasiswa dalam mengembangkan tradisi diskusi-diskusi, sama artinya mahasiswa sedang melakukan satu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual. Maka pada gilirannya proses pauperisasi ini akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung yaitu sarjana yang serba terbatas kapasitas keterampilannya, serba terbatas wawasannya dan seraba terbatas lingkup ilmiahnya, sarjana yang tidak mampu berkompetisi.

Kehidupan mahasiswa saat ini lebih tampak dalam kegiatan masal yang cenderung rekreatif ketimbang kreatif seperti study tour, menaklukan gunung, kemping, pertandingan olah raga, main kartu, minum-minum, dan pesta-pesta.

Berbagai masalah sebagi sebab “loyo-nya” kehidupan akademis mahasiswa Manggarai saat ini saya dapat menduga dari beberapa kemungkinan berikut ini, (1) budaya ketergantungan intelektual yang tinggi, (2) inner-dynamic yang lemah, (3) belajar dengan moral minimalis, (4) kebiasaan melecehkan waktu, (5) minat baca masih rendah, (6) sosialisasi diri masih rendah, (7) minat menulis rendah, (8) minat diskusi rendah, (9) minat berinovasi masih rendah.

Oleh karena itu tradisi-tradisi seperti berikut sudah saatnya dikembangkan oleh mahasiswa Manggarai di PT. Pertama, kembalikan jati diri Anda ke”habitusnya”,yakni sebagai musafir pencerahan intelektual, mengembangkan kejujuran intelektual, menumbuhkan kehidupan akademis yang pada gilirannya akan memberi sumbangan bagi public habit. Mahasiswa sudah dibiasakan berlajar dalam paradigma perspekstif. Maksudnya adalah mahasiswa tidak cukup belajar sebatas ilmunya atau bidangnya sendiri. Mahasiswa dituntut oleh perubahan yang tak menentukan untuk belajar berbagai hal lain sebagai tindakan antisipatif untuk menyonsong perubahan tadi. Hal ini pun dilandasi oleh satu kenyataan bahwa selepas belajar di PT mahasiswa akan menghadapi satu masa transisi, bahka masa krisis yang tak kalah sulitnya dengan belajar. Keterampilan di luar bidang ilmu sendiri dapat menciptakan pekerjaan sementara, sebelum mencapau pekerjaan permanen.

E. Mahasiswa Sebagai Cendekiawan Lalat Liar
Seiring dengan perubahan zaman, mahasiswa tidak berhenti atau puas dengan menyebut diri sebagai kaum intelektual atau cendekiawan saja, namun ia juga harus memiliki sifat-sifat sebagai seorang resi . Seorang resi adalah seorang bijaksna dan sarat akan nilai-nilai moral dan agama. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai kaum intelektual atau cendekiawan berperan mengabdikan dirinya kepada kebenaran, kejujuran, kebaikan, keadilan, kedamaian, dan keindahan serta memiliki moral dan agama yang kuat.

Socrates, cendekiawan Yunani kuno, akhir hidupnya sangat tragis. Ia mati oleh hukuman masyarakatnya. Menjelang kematiannya ia menyebut dirinya “lalat liar’. Ia mengatakan, “mungkin kedengarannya lucu, saya seperti seekor lalat liar di tengkuk seekot kuda”. Kuda adalah pemerintah atau masyarakat yang lelap terlena dalam berbagai kebusukan karena pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Ia berjuang untuk menegakan nilai-nilai itu. Penguasa /masyarakat merasa terganggu dalam tidurnya dan tanpa pikir panjang memukul lalat liar (baca: Socrates) agar pules lagi dalam gelimang dosa. Socrates mati namun tidak dapat begitu saja membuat peguasa/masyarakat berpikir tentang pikiran dan sikap hidup socrates.

Pesan apa yang disampaikan Socrates kepada mahasiswa Manggarai?
jelas Socrates ingin menwariskan suatu pesan pada mahasiswa Manggarai. Mahasiswa Manggarai tidak boleh aman dan tentram palsu dan stabilitas semu. Mahasiswa harus berperan sebagau “lalat liar” . kehadirannya di tengah publik tidak membuat lagi yang terlena dalam kebusukan tetapi mengganggunya agar terbangun dari tidurnya. Ini peran mahasiswa (cendekiawan) Manggarai; harus memberi kesaksian agr kehidupan ini terjaga. Seorang cendekiawan harus merasa tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak menjalankan perannya itu.

Tugas mahasiswa Manggarai saat in meman makin tidak gampang. Dewasa ini kehadiran mahasiswa harus bersuara kuat seperti Socrates dan memegang teguh etika dan kejujuran intelektual. Sebab propinsi kita (NTT) dalam urutan ke lima besar di Indonesia kasus korupsinya dan kabupaten Manggarai termasuk sepuluh besar dari 340 kabupaten kasus korupsi (laporan ICW, semester pertama tahun 2007). Kita terlalu riuh oleh aneka kehahatan melembaga dan didukung oleh birokrasi dan oleh banyak orang.

Bila mahasiswa tidak kuat dan juur, ia akan beralih profesi, tidur bersama birokrat dan banyak orang dalam pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Kita berharap kehadiran mahasiswa Manggarai tampak semakin jelas dalam latar belakang negara yag semakin gelap, dalam maraknya KKN, merosotnya moralitas pemimpin kita. Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi sang mahasiswa, kerana jika tidak demikian, peristiwa Socrates terjadi lagi “lalat liar” dipukul mati di NTT. Dan seperti Socrates, pada saatnya cendekiawan mengambil sikap bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran “gangguan” itu. Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya. Saya yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang cendekiawan bukan mamasukan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia. Manusia pada hakekatnya baik. Ia mencintai apa yang baik, adil dan indah…harap oleh hidup dan karya sang cendekiawan masyarakat menyadari bahwa ia tidak adapat hidup lebih lanjut kalau tidak mengubah cara hidupnya sekarang. Neka temo belajar, botong pa’u wa ngampang.

Sekian dan terima kasih.

Yogyakarta, 20 Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar