Senin, 31 Januari 2011

Tambang: Bravo Bupati Matim!

“...if we succeed in establishing co-operation in the cause of peace, peace on earth will be more stable and durable.”

-Nikita S. Khrushchov, mantan Chairman Of Council Of Ministers Of The U.S.S.R



Membaca berita yang dinarasikan oleh Frans Anggal tentang penolakan tambang di kabupaten Manggarai Timur (Matim) menggelitik rasa dan nalar semua orang yang ingin Matim berkembang sejahtera. Gelombang penolakan terhadap tambang mencapai rating yang tinggi sejak investor-investor tambang mulai merambah wilayah flobamora. Gelombang penolakan tambang oleh warga flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) telah menyulut api penolakan tambang di kabupaten Manggarai Timur. Antusiasme penolakan terhadap aktivitas tambang jelas berangkat dari kesadaran akan bahaya tambang dan bukan atas bandwagon effect, ekopraksia atau ikut-ikutan.

Tambang adalah ranah ekonomi yang juga menambang ranah sosial dan politik. Dari sinilah, tambang menuai persoalan. Masyarakat flobamora adalah masyarakat yang sangat agraris. Mayoritas masyarakat flobamora bergelut dengan sumber daya lahan (pertanian), sumber daya hutan, sumber daya air dan sumber daya laut dan psisir. Pertanian adalah sumber mata pencaharian yang paling banyak di antara sumber daya-sumber daya tersebut. Bahkan, tanah (pertanian) adalah obyek magis yang mempunyai nilai-nilai religius. Nilai-nilai itu dibalut dalam ritual-ritual adat yang menghubungkan relasi vertikal antara sang pencipta dan makluk ciptaan dan segala isinya. Ritual adat itu dilambungkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah memberikan nafkah kehidupan dari hasil-hasil pertanian dan hutan yang telah mereka garab bersama. Oleh sebab itu, tindakan porak-poranda ekskavasi destruktif terhadap tanah merupakan bentuk penghancuran terhadap sumber nafkah dan religio-sosialitas masyarakat lokal. Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumber daya mineral (tambang) di tanah flobamora merupakan ancaman serius terhadap masyarakat lokal.

Dalam UUD 1945 ayat 3 memang diatur kekayaan alam di perut bumi di miliki negara dan bisa diberikan kepada pengelola (investor) untuk memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakayat. Dalam kasus pertambangan di flobamora, pertanyaan yang muncul adalah kesejahteraan rakyat yang mana? Seringkali, kehadiran tambang membawa konflik vertikal dan horizontal di antara warga masyarakat lokal. Konflik tersebut bermula dari tingkat kecemburuan dan kecurigaan rakyat yang tinggi akan perbedaan kualitas hidup antara perusahaan penambang dengan warga di mana tambang itu beroperasi. Belum lagi masyarakat teralienasi dari lingkungannya sendiri akibat provokasi-provokasi larangan kepada masyarakat lokal untuk melintas di daerah pertambangan yang nyata-nyata tempat masyarakat lokal bertani. Konflik antara korporasi dan warga lokal dibibit dari persoalan-persoalan ini. Dalam relasi corporate-society ini, bahaya konflik semakin meningkat ketika masyarakat lokal mulai terdesak akibat pengelolaan limbang tambang yang tidak becus sehingga mencemari sumber daya lahan, air dan pantai-pesisir. Eksternalitas ini sering terjadi. Dan masyarakatlah yang menjadi korban eksternalitas ini. Corak kehidupan masyarakat lokal pun hancur dengan kehadiran tambang tersebut.

Menilik pada anatomi konflik tersebut dan bahaya eksternalitas yang mengancam corak kehidupan masyarakat lokal, pemeritah harus menentukan sikap yang bijak. Sikap bijak pemerintah harus tetap berkomitmen pada destinasi kesejahteraan rakyat lokal. Komitmen itu dinyatakan dengan bersama menjaga sumber-sumber penghidupan masyarakat. Setelah reformasi 1998 dan dengan digulirkan Undang-Undang otonomi daerah tahun 1999 dan 2004 serta Pemilihan Kepada Dearah (Pilkada) tahun 2004, pemeritah daerah semakin gencar mencari sumber-sumber pendapatan daerah (PAD) selain dana alokasi umum dan alokasi khusus (DAU/DAK). Relasi state-coporate dibuka lebar-lebar. Investor-investor lokal maupun asing diundang untuk berinvestasi di daerah. Investor pertambanngan pun ikut masuk dalam lorong tersebut. Dalam iklim demokrasi, political will pemerintah tersebut tetap harus mempertimbangkan peran parstisipatif rakyat. Pertimbangan-pertimbangan konstruktif dalam relasi state-society akan membantu proses investasi di daerah. Pemerintah diharapkan tidak mengobarkan rakyatnya sendiri hanya demi pajak dan pembangunan. Kadang pembangunan daerah tidak sejalan dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah menuju kesejateraan akan berjalan baik dan proper apa bila jalan demokrasi partisipatoris antara state-society-corporate berjalan baik.

Pernyataan resistensi Bupati Manggarai Timur, Drs. Yosep Tote, terhadap eksistensi tambang di Matim merupakan sebuah gentlemen agreement antara pemerintah daeran dan rakyat Matim. Bupati Matim mengatakan “,...saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang”. “Penegasan itu disampaikan kepada masyarakat Manggarai Raya dalam Forum Manggarai Timur Jakarta, yang berlangsung di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010” (Flores Pos Selasa 14 Desember 2010 dalam “Bupati Matim Tolak Tambang”, 16 Desember 2010, www.fransanggal.blogspot.com). Pernyataan penolakan lahir dari komunikasi (bantang cama reje leleng) yang baik antara rakyat Matim dan pemeritah daerah Matim. Inilah esensi demokrasi deliberatif tinggat lokal (lonto leok) yang dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat Matim. Masyarakat Matim dapat sejahtera meski tanpa tambang. Tambang telah merusak kualitas air pertanian dan perikanan mereka. Tambang telah mendestruksi lahan pertanian dan lingkungan mereka. Kualitas hidup masyarakat lokal akan terdegradasi oleh hadirnya tambang. Keputusan penolakan tambang oleh bupati Matim adalah kebijakan yang bijak sebagai pemimpin. Bravo bupati Matim. Ti saluto! Dalam memperjuangan kedaualatan rakyat Irlandia (Film Michael Collins) dari Empire of British, Michael Collins berorasi sesama rakyat bahwa “...we have a weapon more powerful than any in the whole arsenal of the British Empire! That weapon is our refusal. Out refusal to bow to any order but our own!” Belajar dari banyak pengalaman dan kasus di berbagai tempat di tanah air (Newmont Nusa Tenggara, Newmont Minahasa Raya, Freeport Indonesia, Exxon Mobile di Aceh, Newcrest Halmahera, tambang timah di pulau Bangka, tambang di Karimun, dll), kehadiran tambang telah merusak kehidupan komunal dan lingkungan. Defisit yang ditinggalkan lebih dasyat daripada profit pemerintah daerah yang diperoleh dalam kalkulasi ekonomi. Mengizinkan investor tambang di daerah berarti casu consulto, sebuah kecelakaan yang disengajakan. Oleh sebab itu, kerajaan tambang adalah musuh bersama masyarakat Matim. Penolakan terhadap tambang adalah senjata melawan kerajaan tambang dengan segala terornya. Refusal is our weapon. Senjata itu telah ditembakan oleh pemimpin rakayat Matim itu sendiri. Senjata itu ditembakan untuk mempertahankan bonum communae di seluruh tanah Manggarai Timur. Akhirnya, sekali lagi bravo bupati Matim. Kami dukung!!!


Djogja, 21 Desember 2010
Alfred Tuname
(anggota Ikatan Keluarga Besar Manggarai Timur Yogjakarta,
IKAMARSTA)

Politik Jalan Dalam Lorong Demokrasi

Lain padang, lain pula belalangnya meski namanya tetap belalang. Demikian juga dengan demokrasi. Setiap daerah memiliki lorong demokrasinya berbeda meski prinsip universal demokrasi tetap berlaku di sana. Atas dasar inilah demokrasi di ladang Manggarai (Manggarai Timur, Manggarai Tengah dan Manggarai Barat) pun perlu ditilik spesies belalangnya. Belalang berkaki besar atau belalang berkaki kecil. Belalang bersungut atau belalang tak bersungut.

Watak demokrasi sudah dikenal oleh orang-orang Manggarai sebelum universalitas demokrasi tiba di Manggarai. Warisan budaya yang diturunkan dari nenek moyang hingga terpatri dalam benak orang Manggarai modern mencermikan nilai-nilai demokrasi yang pernah didemostrasikan oleh Thersites, tokoh dikenal dari cerita tragi-komedi Troya hingga Barack Husein Obama. Goet-goet (pantun-pantun) merupakan warisan budaya Manggarai yang sedikit banyak mengajarkan cara hidup berdemokrasi. Goet yang berbunyi “nai ca anggi tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako” sudah cukup meneteskan nilai-nilai demokrasi dalam realitas kehidupan orang Manggarai. Nilai-nilai itu diterjemahkan dalam kesamaan hak, mufakat dan keadilan. Nilai-nilai ini cukup kuat mempengaruhi dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Namun watak budaya yang patrinealistik, perjalanan demokrasi pun tidak melenggang bebas. Demokrasi seolah masuk dalam lorong kecil. Tetapi penetrasi universalitas demokrasi yang terus-menerus dalam lorong demokrasi Manggarai mengakibatkan penyempitan relasi patron klien yang sudah lama berkubang di tanah Manggarai. Pelan-pelan pola relasi itu mulai ditenggelamkan.

Arus politik setelah era reformasi juga menimbulkan perubahan aras politik Manggarai. Lorong demokrasi pelan-pelan mulai terbuka lebar. Politik tidak lagi dibentangkan atas dasar relasi patron klien tetapi diuntungkan dengan relasi ekonomi. Modal sosial tidak akan pernah berarti tanpa modal ekonomi. Fenomena ini menanjak seiring dengan pragmatisme yang berkembang di masyarakat. Politik pun diarahkan pada pemenuhan dahaga masyarakat pragmatis ini. Dengan demikian, perjalanan menuju puncak kekuasaan dapat diraih dengan kepekaan akan pragmatisme yang terjadi di massa-rakyat.

Infrastruktur yang memadai merupakan kebutuhan yang cukup tinggi di Manggarai. Dengan topografi wilayah yang berbukit dan bergunung, kebutuhan akan aksesibilitas dan mobilitas menjadi sangat tinggi. Jalan raya pun menjadi primadona dalam komiditas politik daerah. Pembangunan jalan raya yang layak bagi masyarakat selain sebagai “jalan” memajukan ekonomi rakyat, pembangunannya juga berperan sebagai strategi politik yang strategis untuk mendapatkan hati raykat. Oleh karenanya, klaim atas pembangunan itu menguntungkan politisi incumbent. Karena jalan sebagai salah satu komoditas politik yang laris maka pembangunan jalan raya sepertinya bukan lagi upaya niat baik pemerintah untuk membantu mobilitas masyarakat untuk memajukan ekonomi dan kesejateraan tetapi semata hanya untuk kepentingan politik. Akibatnya, pembangunan jalan raya menjadi tidak merata. Tidak ada lagi skala prioritas. Pembangunan jalan hanya melihat basis-basis konstituen loyal. Selanjutnya, kemenangan politik dalam suksesi pemimpin daerah adalah semarak rayaan atas jalan politik yang telah dibanguan. Kemanangan adalah balas jasa konstituen pengguna jalan raya. Inilah “do ut des” dalam politik.

Etisnya, politik adalah balas jasa. Moralnya adalah niat baik. Ketika pembangunan jalan adalah “aspal” yang merekatkan rentang keberjarakan masyarakat dalam sirkulasi sosial, budaya dan ekonomi maka rakyat juga punya nurani untuk melihat siapa pemimpin yang layak dan pantas. Niat baik dalam pembangunan jalan direalisasikan dalam takaran kualitas jalan yang layak dan pantas. Etis politiknya akan bersambut dalam konstasi suksesi. Dan mekanisme kontrol terhadap pembangunan tetap dijalankan bersama masyarakat. Hal ini penting untuk menghindari politik yang keluar lintas moral. Artinya, pembangunan jalan yang rating politisnya sangat tinggi sehingga jalan dibuat ala kadar dan di luar standar layak.

Demokrasi di tanah Manggarai pelan-pelan menjadi lorong kian melebar. Di tengah tabrakan-tabrakan sistem politik baru dan habitus budaya dan politik lokal, masyarakat mulai bersikap kritis. Sikap kritis ini sangat penting bagi perjalan demokrasi di Manggarai. Sikap kritis ini dipakai untuk menyikapi setiap kebijakan pemerintah (infrastruktur; jalan, misalnya) dan semua “sengketa” politik lokal yang terjadi meski “virus” pragmatisme juga mulai bertengger dalam masyarakat. Tetapi itu proses demokrasi. Kemelut-kemelutnya harus dinikmati untuk mencapai Manggarai yang lebih baik.

Djogja, 06 Januari 2010
Alfred Tuname


www.alfred-tuname.blogspot.com

NTT: Bae Sonde Bae, Sonde Bae-Bae

“Ekonomi bukan hanya soal memperoleh penghasilan, tetapi juga bagaimana menggunakan penghasilan itu secara baik untuk meningkatkan kehidupan dan kebebasan kita”

-Amartya Sen


NTT Dalam Berita
Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir-hampir tak lepas dari discourse kemiskinan dan kurang berkembang. Studi-studi pembangunan daerah dan pemberitaan media memaparkan itu secara jelas. Data-data nasional menjelaskan kondisi tersebut secara statistik. Setiap orang yang pernah membaca data statistik nasional akan mendapati angka gemuk terkait pembangunan di NTT meski dengan skor penilaian yang berbeda. Hingga dalam satu kesempatan, ada pihak yang prihatin terhadap pembangunan di NTT dengan berkata dalam satu akronim, Nanti Tuhan Tolong (NTT).

Gubernur NTT, Frans Leburaya, dalam sebuah Rakornas Perhubungan mengemukakan sebuah keluhan bahwa “NTT tidak seperti diberitakan media massa. NTT termasuk salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam, hanya belum sepenuhnya digarap untuk kesejahteraan masyarakat” (Kupang, kompas.com, 02 Desember 2010). Pernyataan tersebut mengudara terkait Hari Pers. Harapan gubernur adalah pers lokal dapat mengubah gambaran (image) buruk tentang NTT. Image tersebut adalah hamparan kemiskinan yang diderita sebagian besar masyarakat NTT.

Pernyataan gubernur tersebut adalah sebuah pernyataan politis. Dikatakan pernyataan politis sebab pemberitaan kondisi kemiskinan NTT memiliki ketelanjangan keterkaitan dengan kepimimpinannya. Berita tentang kemiskinan yang terus melanda tanah flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor) menunjukan kegagalan pemimpin di daerah itu. Citra kegagalan pemimpin akan berimbas pada efek-efek politik sang gubernur. Dan secara tidak sadar, pernyataan gubernur dalam Rakornas Perhubungan tersebut mengindikasikan kecemasan pemimpin akan kegagalan pembangunan di NTT. Tetapi adalah tidak bijak jika terus menyalahkan media massa yang telah mengangkat fenomena kemiskinan di NTT. Media massa hanya berperan mengungkapkan kondisi real masyarakat sesuai dengan fakta dan kebenaran. Prinsipnya adalah truth news is a good news. Memang sering kali, media massa juga turut “bermain” di air keruh tetapi banyak riset dan pemaparan data-data statistik memberikan pembutian atas pembangunan di NTT.

NTT Dalam Angka
Dalam diseminasi wacana pembangunan, sering kali indikator-indikator fenomena kemiskinan di Indonesia menuai pro-kontra. Bahkan indikator kemiskinan dengan menggunakan metode Gini Rasio, Kuznet’s Index, Oshima’s Index dan Theil Decomposition Index sering mendapatkan resistensi. Oleh sebab itu, terminologi daerah maju dan kurang maju pun sering dipakai. Indikasi maju dan kurang majunya suatu wilayah sering dikaitkan dengan pertumbuhan sektor-sektor, antara lain sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, industri, pertanian, media masaa, jasa-jasa dan lain-lain. Pengamatan sektoral terhadap indikator-indikator tersebut sangat penting sebab kemiskinan dapat berarti fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral. Hanya memang kelemahannya adalah kita juga menjumpai penduduk-penduduk miskin justru di wilayah yang justru telah maju secara sektoral. Dan secara statistik propinsi NTT masih dikategorikan sebagai daerah kurang maju. Dengan laju pertumbuhan ekonomi triwulan II 2010 sebesar 5,24%, year on year (yoy) (sumber: www.bi.go.id), NTT mengalami kenaikan positif pertumbuhan ekonomi. Sumbangsi terbesar adalah sektor pertanian yang terus mengalami perkembangan signifikan. UMR propinsi adalah RP 800.000,00 per bulan. Kenaikan pendapatan mendorong konsumsi masyarakat. Kenaikan konsumsi tersebut turut menaikan prosentasi perdagangan, jasa hotel dan restoran. Investasi di NTT mulai membaik sebesar 4,97% yoy tetapi masih didominasi oleh investasi fisik.

Sementara itu, penduduk miskin NTT tetap saja belum mengalami peningkatan. Pada data BPS tahun 2008, prosentasi penduduk miskin NTT adalah 25,65%. Hal itu lebih tinggi dari rata-rata penduduk miskin Indonesia 15,42%. Indeks Pembangunan Manusia selalu menghuni posisi terendah sebesar 66,15 lebih rendah dari rata-rata nasional yakni 71, 17. Angka tersebut membuat NTT selalu menempati posisi ke 31 sejak tahun 2004.

Kenyataan akan kemiskinan di NTT membuat wilayah tersebut akan menjadi back yard (halaman belakang) Indonesia. Laju pertumbuhan ekononomi regional jelasnya tidak menghempaskan rating kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan pendapatan bisa menjelaskan kemiskinan di NTT lebih dikategorikan oleh kemiskinan struktural. Pendapatan tinggi hanya bisa dinikmati oleh sekolompok golongan kecil. Mayoritas masyakat di sektor pertanian tetap saja miskin sebab masih merupakan petani tradional padahal peningkatan pendapatan merupakan bagian dari pengurangan kemiskinan.

NTT Dalam Pembangunan?

Dalam prinsipnya, pembangunan harus berfokus pada tiga hal. Tiga hal tersebut adalah berfokus pada semua aset (modal fisik, manusia dan alam), menyelesaikan aspek-aspek distributif sepanjang waktu, dan menekan kerangka kerja institusional bagi pemerintahan yang baik. Modal fisik dimulai dengan peningkatan investasi publik yang kerjakan oleh pemerintah. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berguna bagi masyakat. Investasi tersebut bermanfaat jangka panjang (long run) untuk menunjang faktor-faktor produksi masyakat. Pembangunan Jalan raya, jembatan, irigasi, terminal dan lain-lain harus benar-benar demi kepentingan perbaikan kehidupan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses pembangunan juga harus menjaga kelestarian alam. Hutan produksi dan hutan lindung dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Pertambangan yang merusak lingkungan harus dihindari sebab dapat mengganggu sosialitas dan budaya serta tradisi lokal. Selain itu, investasi dalam modal manusia dengan perhatian utama pada kualitas pendidikan dan kesehatan dapat membantu produktivitas masyarakat. Investasi dalam diri manusia dapat meningkatkan kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial. aspek-aspek distribusional sangat penting dalam proses pertumbuhan. Distribusi yang setara antara modal manusia, lahan dan aspek-aspek produktif akan meningkatkan proses pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan sebaran pendapatan yang merata dalam masyarakat. Kegagalan dalam distribusi akan mengakibatkan golongan kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Dan terakhir adalah kinerja pemerintah yang bersih dan transparan. Etos pelayanan publik yang baik dan kebijakan publik yang yang tepat akan membantu percepatan proses pembangunan.

Namun, jika prinsip-prinsip tersebut diletakan di atas peta NTT, realitas yang yang dijumpai adalah skala yang begitu besar dari idealitas-idealitas pembangunan. Distorsi kebijakan, korupsi dan buruknya etos layanan publik meramaikan tangga pembangunan daerah. Nepotisme dan sogokan mengakibatkan distorsi alokasi investasi fisik. Distorsi ini diperparah lagi dengan motif-motif politis. Kontraktor-kontraktor yang terlibat dalam dukungan pilkada menikmati keuntungan sebagai balas jasa. Investasi publik berjalan melambat. Korupsi mewarnai pembangunan sarana dan prasarana publik. konstuksi-konstruksi bangunan publik tidak bertahan lama dan tidak terawat dengan baik. Di beberapa kabupaten baru, alokasi belaja mobil-mobil dinas yang bermerk Eropa tinggi dari pada pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah mengucurkan dana BOS. Tetapi di tengah memburuknya pendidikan di NTT, dana BOS malah dijadikan ajang pendapatan tambahan bagi dinas-dinas pendidikan. Kesejahteraan guru di NTT yang sangat memprihatinkan mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan. Panorama kemiskinan juga turut mengakibatnya banyak anak yang putus sekolah. Sementara itu, dinas-dinas pendidikan sibuk merekayasa proyek hanya untuk mendapat jatah dari pada memperbaiki kualitas pendidikan. Dan rendahnya kualitas pendidikan itu berdampak pada rendahnya produktivitas dan merebaknya fenomena kekerasan di masyakarakat. Rendahnya produktivitas masyarakat akan berdampak pada rendahnya pendapatan daerah. Lalu dengan alasan mendongkrak pendapatan daerah, pemerintah mendatangkan investor di bidang pertambangan selelah proses kongkalikong dan pembodohan terhadap masyarakat tradisional. Pertambangan pun merangsek dan merusak habitat tradisional masyarakat. Kerusakan lingkungan pun tidak terhindarkan. Sementara itu, dalam sektor-sektor distribusi, pemerintah memelihara koneksi resiprokal khusus dengan kelompok-kelompok bermodal besar dan etnis tertentu yang siap memberi upeti besar untuk aktivitas politis dan proteksi. Masyarakat dan pedagang kecil pun hanya mendapatkan remah-remah.

Pertumbuhan ekonomi dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat NTT pun sebenarnya tidak mengalamai perubahan ke arah bonum communae. Kebijkaan publik, hukum dan sumber daya sudah dikuasai oleh kepentingan-kepentingan elite di daerah. Manfaat-manfaat untuk kesejahteraan rakyat telah ditelikung oleh kepentingan elite tertentu. Masyarakat NTT tetap saja mendekam dalam sarung kemiskinan. Lalu Gubernur NTT, Frans Leburaya, meresahkan pemberitaan tentang kemiskinan itu. memang tanah Flobamora memiliki kekayaan sumber daya alam. Tetapi bagaimana mungkin kekayaan itu dapat memiliki nilai ekonomis untuk kesejahteraan apabila political will pemerintah tidak pernah baik. Distorsi, fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme yang tinggi, pemborosan anggaran seringkali mengikuti kebijakan-kebijkan pemerintah. Pemerintah adalah suatu unit ekonomi. Sebagai suatu unit ekonomi ia berperan sebagai produsen untuk kepentingan masyarakat umum dan juga konsumen serta ikut ambil bagian dalam arus barang/jasa dan keuangan dalam perekonomian. Output-nya adalah perlindungi warga negara dan terciptanya keadilan sosial. ketika kemiskinan masih memenjarakan masyarakat NTT di manakah keadilah sosial itu? Meskipun masyarakakt NTT terus menari dan menyanyi “bae sonde bae, flomara lebi bae” tetapi kesadarannya akan mengatakan “bae sonde bae, flobamora sonde bae-bae”.

Jogja, 12 Desember 2010
Alfred Tuname

KET:
bae sonde bae, flomara lebi bae : baik atau tidak baik, flobamora
lebih baik
bae sonde bae, flobamora sonde bae-bae : baik atau tidak baik, flobamora
tidak berubah-berubah


Buku Sumber:
Ackerman, Susan Rose. 2000. Corruption And Government; Causes, Consequences And Reform. Cambrige University Press.
Gilarso T. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Yogyakarta:Kanisius
Said Rusli, et al.1995. Metode Indentifikasi Golongan Dan Daerah Miskin; Sebuah Tinjauan dan Alternatif. Jakarta:Grasindo
World Bank. 2001. The Quality Of Growth. Jakarta:Gramedia

Sebuah Epigram Sang Gembala

Sebuah kereta mengantarnya ke kota ini. Perjalan panjang yang melelahkan tak membuatnya patah untuk mengunjungi dombanya. Suaranya adalah tongkat gembala yang memberi arah tuntunan di jalan adil dan benar. Sang gembala itu adalah Mgr. Hubertus Leteng, Pr. uskup dioses Ruteng, Manggarai, Flores, NTT.

Uskup dioses Ruteng sudah menyentuhkan kakinya di tanah Djogjakarta saat mentari pagi belum merayap di kota ini. Hari itu, hari minggu, 05 Desember 2010. Sebuah perjalanan setelah lambaian tangan ia tujukan pada ibu kota, Jakarta. Kunjungan ini sangat berarti penting bagi masyarakat Manggarai di Djogjakarta, masyarakat Manggarai diaspora. Berkat dalam tumpangan tangannya memberi ketenangan pada umat Manggarai diaspora setelah the cosmos speaks in its patterns, erupsi Merapi merangsek hati penuh cemas. Suatu keyakinan bahwa Sang Ilahi akan selalu berserta (emanuel) umatnya yang percaya pada-Nya. Kesetiaan-Nya pada umatnya begitu kuat seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.

Sebagai insan budaya, Mgr. Hubertus Leteng, Pr. pun diterima dengan adat dan istiadat orang Manggarai. Ritus kepok tiba meka menjadi lambang ungkapan selamat datang dan umat Manggarai Djogjakarta menyambut penuh rasa suka cita akan kehadiran Uskup Ruteng di kota ini. Kita berasal dari tempat dan budaya yang sama, tanah ledo lise empo, tae dise ame, Manggarai. Dan warga Manggarai Djogjakarta adalah umat Manggarai diaspora.

Kebersamaan dan kebahagiaan umat Manggarai diaspora dirayakaan dalam ekaristi kudus. Dengan misa konselebrasi, ekaristi kudus dirayakan secara meriah dan penuh hikmat. Lagu-lagu berbahasa Manggarai (dere serani) yang dilantun oleh koor gabungan mahasiswa-mahasiswi Manggarai Djogjakarta, “IKAMAYA” Choirs, towe songke, dan lomes tarian putra-putri cilik Manggarai memberi kekhasan dan keagungan misa kudus yang dipimpin oleh Mgr. Hubertus Leteng, Pr. di gereja St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Malioboro, Djogjakarta. Umat gereja St. Fransiskus Kidul Loji dan umat Manggarai disapora bersama-sama antusias dan penuh hikmat mengikuti ekaristi sore itu. sore, pikul 18.00 WIB. Hujan deras yang mengguyur seluruh kota tak mampu meredakan kerinduan mereka untuk merayakat ekaristi bersama sang gembala. Saat itu, umat kristiani merayakan misteri kerahiman Allah yang selalu ada sepanjang zaman dalam doa, pujian dan komuni bersama.

Usai ekaristi bersama, warga Manggarai Djogjakarta berkumpul bersama di gedung sebelah gereja. Manik mata woko lonto cama, manik lelon woko lonto leok. Wan koe etan tua, bersila loce dan makan bersama. Jamuan Makan jasmaniah setelah makanan rohani. Iringan nyanyian mahasiswa-mahasiswi Manggarai Djogjakarta mengantar situasi kebersamaan menjadi lebih rileks. Persaudaraan tumbuk dalam riak-riak kebersamaan itu. Dan kita semua adalah saudara. Sang Guru Agung mengajarkan itu, omnes vos fratres estis, kamu semua adalah saudara.

Sebelum jamuan bersama dimulai, warga Manggarai diaspora melalui panitia meminta pemimpin gereja katolik Manggarai, Mgr. Hubertus Leteng, Pr., menyampaikan sepatang dua patah kata. Ia juga sangat senang bisa berkesempatan dapat menikmati kebersamaan dengan orang-orang Manggarai yang ada di Djogjakarta. Kebersamaan yang lekat, kumpul bersama, memang cukup sulit diadakan di kota besar seperti Djogja. Namun, kehadiran Uskup Ruteng dapat merapatkan kembali kebersamaan orang Manggarai Djogjakarta yang tersebar di sudut-sudut kota. Saat itu, orang Manggarai berkumpul selain karena kehadiran sang gembala di kota ini tetapi juga karena panggilan budaya akan identitas yang sama sebagai orang Manggarai. Dan kita adalah orang Manggarai yang telah diwariskan dengan nilai-nilai budaya kebersamaan yang sangat kental. Semangat berbudaya dalam nilai “nai ca anggit tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako; pedir weki rentu sai, neki weki manga ranga” tidak hanya tersimpan dalam pikiran tetapi juga terpatri dalam hati dan terasa dalam jiwa. Kebersamaan itu pun semakin lebih mesra.

Dalam kesempatan itu pula, Mgr. Hubertus Leteng, Pr. menyampaikan keprihatinan gereja terhadap umat Manggarai di seluruh tanah Manggarai, Flores, NTT. Pernyataan keprihatinan itu adalah ungkapatan teologis terhadap kondisi sosial dan budaya di bumi nuca lale. Dengan itu, teologi tidak berhenti pada ajaran iman yang benar (orthodoxy), tetapi mencapai pemenuhannya dalam tindakan yang benar (orthopraxy). Seperti esai Hartono Budi, SJ. dalam “Iman, Rasionalitas Dan Bela Rasa”, teologi tidak lagi hanya intellectus fidei (pemahaman tentang iman) tetapi diperbaharui menjadi intellectus amoris (pemahaman tentang cinta) yang menjadi konkret dalam dunia masa kini sebagai intellectus iustitiae atau intellectus misericordiae (pemenuhan tentang rasa keadilan dan bela rasa).

Keprihatinan itu berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat Manggarai adalah masyarakat petani pada umumnya. Dengan tehknologi pertanian yang sederhana, masyarakat pertanian Manggarai mengolah tanah pertaniannya. Masyarakat Manggarai menyadari tanah merupakan sumber nafkah kehidupan mereka. Untuk itu kehidupan yang selaras dengan alam menjadi sangat penting. Ritus dalam kebudayaan orang Manggarai pun banyak mencerminkan penghargaan terhadap alam untuk kehidupan yang selarar dan susteinable. Dari tanah pertanianlah orang Manggarai membangun perekonomian Manggarai, meski bukan satu-satunya. Sektor pertanian masih menjadi donatur utama PAD tiga kabupaten di tanah Manggarai. Kasadaran akan pertanian sebagai sumber utama kesejahteraan orang Manggarai pada umumnya maka kerusakan lingkungan (environmental degradation) merupakan sebuah tantangan. Environmental degradation merupakan sebuah tantangan sebab setiap insan manusia, orang Manggarai dan seluruh masyarakat dunia, harus berjuang habis-habisan untuk menjaga keutuhan lingkungan alam dari kerusakan dan pengrusakan. Tanah dan lingkungan di seluruh wilayah Manggarai bukan hanya aset tetapi juga mempunyai nilai religius dalam tradisi orang Manggarai. Orang Manggarai berterima kasih kepada Mori Jari Agu Dedek yang telah memberikan tanah untuk dipijak dan membangun rumah serta darinya diperoleh hasil-hasil bumi untuk kesejahteraan. Oleh sebab itu, kehadiran pertambangan dengan usungan untung pragmatis di tanah Manggarai tidak saja merusak tanah dan alam sekitar tetapi juga telah merusak tatanan nilai dalam tradisi orang Manggarai.

Keprihatinan juga ditujukan pada pendidikan di Manggarai. Pendidikan merupakan sarana pembebasan (liberation) dari kebodohan dan kemiskinan. Sejak masuknya agama katolik di tanah Manggarai, gereja telah berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah-sekolah mulai dari TKK hingga Sekolah Tinggi didirikan untuk membantu mencerdaskan masyarakat Manggarai. Dan dengan kecerdasannya itu, masyarakat Manggarai dapat menata kehidupannya sendiri demi terciptanya masyarakat yang beradab dan sejahtera sebab pendidikan adalah pengetahuan dengan menggunakan segenap potensi yang dimiliki oleh manusia an sich. Namun, dalam perkembangannya karya-karya mulia itu mulai dibatasi. Negara melalui pemerintah daerah mulai melakukan resistensi tehadap karya pendidikan swata yang berkembang di Manggarai. Ironinya, ditengah manajemen pendidikan nasional yang sangat amburadul, pemerintah justru melakukan kebijakan limitasi karya swasta dalam pendidikan. Sejatinya, dalam kondisi merosotnya proses pendidikan nasional, pemerintah dan swata bergandengan tangan membangun layanan pendidikan yang baik dan bermutu demi menciptakan kecerdasan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Begitu pula di Manggarai, di tengah ketakberdaannya memanajemen dan melorotnya mutu pendidikan, pemerintah daerah harus bergandengan tangan dengan semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk menciptakan generasi-generasi Manggarai yang cerdas dan berkepribadian baik demi mewujudkan masyarkat Manggarai yang adil dan sejahtera.

Keprihatinan gereja adalah keprihatinan kita semua. Ketidakadilan dan ketidaksejahteraan mengusik rasa kemanusiaan kita sebagai bagian dari indentitas Manggarai. Ketika kebenaran dipenjara di balik jeruji-jeruji ketidakadilan, kita perlu bergerak melawan dengan pikiran dan karya kita masing-masing. Sebagai insan yang bukan pengidap amnesia of genesis (amnesia asal usul), segenap daya perlu dicurahkan untuk menciptakan bonum commune dan bonum publicum di nuca lale, Manggarai. Kita dapat berkarya di mana saja tetapi perhatian kita juga perlu ditujukan kepada tempat dimana kita pernah dibesarkan dan diberi bekal. Neka hemong kuni agu kalo adalah permintaan sekaligus perintah untuk tetap menjadi bagian dari anak kandung dan pewaris budaya dan tanah Manggarai.

“Berkarya di mana saja itu baik. Berkarya di tanah Manggarai itu lebih baik”. Sebuah epigram Mgr. Hubertus Leteng, Pr. kepada warga Manggarai diaspora yang sedang menempuh ilmu di kota pelajar ini berisi ungakapan harapan gembala kepada generasi-generasi cerdas untuk perubahan yang lebih baik di tanah Manggarai. Karya dan pemikiran yang cemerlang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Manggarai yang sejahtera dan damai pro patria et ecclesia.

Akhirnya, umat Manggarai Djogjakarta mengucapkan terima kasih kepada Mgr. Hubertus Leteng, Pr. atas tumpangan berkat dan kebersamaan di kota ini. Pimpinlah kami umatmu dan seluruh umat Manggarai dengan tongkat kegembalaan dan kebijaksanaanmu dalam terang Roh kudus menuju Kristus, Sang Gembala Agung.

Djogjakarta, 06 Desember 2010
Alfred Tuname

www.alfred-tuname.blogspot.com

Obrolan Bersama Ibu Maribert Erb: Segelas Kopi Untuk Manggarai

(Tulisan ini merupakan hasil guratan-guratan pendek penulis dari diskusi bersama beberapa mahasiswa/i dan orang tua Manggarai di cafe Kampung, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 07 Oktober 2010. Diskusi ini menghadirkan seorang antropolog dari University of Singapore, Maribert Erb. Ia melakukan penelitian di Manggarai, Flores Barat, NTT sejak tahun 1980-an. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan buku)

First Touch
Maribert Erb lahir 55 tahun yang lalu. Ia hidup di saat generasi baby boomer merebak di Amerika Serikat. Saat itu, generasi muda tidak puas dengan kondisi yang terjadi setelah perang dunia ke II. Situasi perang masih ada (perang Vietnam) dan bom atom serta kerusakan lingkungan sehingga menganggu stabilitas kehidupan manusia. Maribert muda pun masuk dalam situasi revolusi pada tahun 1970-an. Maribert Erb menamakannya revolusi orang muda. Revolusi orang muda mendambakan kehidupan dunia yang lebih baik dan menentang nilai-nilai lama yang kaku. Generasi muda saat itu memiliki kerinduan untuk melihat lagi corak-corak kehidupan lain di dunia “luar” yang dianggap masih asli dan unik. Dan terdorong dari keinginan ini, Maribert muda pun melihat studi antropologi adalah jalan yang cocok untuk mengantarkan dirinya mengenal dunia luar tersebut. Baginya, antropologi adalah studi tentang dunia lain dengan corak kehidupan manusia berkumpul di dunianya sendiri. Antroplogi adalah studi tentang perbandingan dimana dengan melihat dunia luar, orang dapat melihat corak kehidupannya sendiri.

Sebab minatnya terhadap antropologi, Maribert pun mulai tertarik terhadap hasil seni pahat (art) dari berbagai negara khususnya negara-negara di benua Afrika yang dipamerkan di beberapa museum yang di kunjunginya. Dari pengamatannya itu, ia pun masuk dalam pertanyaan yang sangat antopologis, apa arti cara hidup seperti ini? Apa makna semua itu? Pertanyaan ini mendorong dirinya untuk terlibat langsung dengan proses budaya seperti itu. Mulanya, Maribert Erb ingin mengunjungi benua Afrika tetapi kemudian pilihannya jatuh ke Indonesia. Korespondensinya dengan seorang temannya di propinsi Timor-Timur (sekarang negara Timor Leste) membuatnya ingin memahami sistem kawin-mengawin. Dari temannya itu, ia mendapat penjelasan bahwa sistem kawin-mengawin di Timor Timur memiliki kaitan kosmologis. Salah satu sistem kawin-mengawin yang mirip dengan sistem kawin-mengawin yang ada di Timor Timur adalah Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur.

Berkat korenspodensinnya juga dengan A. J. Verheijen, seorang pastor di Manggarai, pada bulan April 1983 Maribert Erb datang ke Indonesia. Sejak Mei 1983, ia menetap selama 2,5 tahun di Lempang Paji, Manggarai Timur. Ia memulai participatory researh dengan studi bahasa Rembong. Lalu ia melakukan penelitian terhadap sistem adat dan sistem kawin-mengawin di daerah tersebut. Setelah penelitian ia kembali ke New York untuk menyelesaikan kuliahnya. Tetapi minat dan ketertarikan terhadap budaya Manggarai tidak berhenti di sana. Ia pernah membantu pater Stanis Wiparlo membangun kembali rumah adat niang rowang di Todo yang telah rusak. Ia membantu mencari gambar niang rowang yang asli yang pernah dibangun sekitar abad 17 atau 18. Potret niang rowang tersebut pernah diabadikan oleh seorang manca negara yang datang ke daerah itu. Dan gambar tersebut diperolehnya di Singapura setelah pencariannya ke berbagai negara. Dengan gambar ini, niang rowang dapat dibangun kembali sesuai dengan bentuk aslinya. Lalu selain beberapa tulisan tentang budaya Manggarai diterbitkan di berbagai jurnal internasional, ia juga mengenalkan budaya Manggarai ke dunia internasional dengan bukunya The Manggaraians yang terbit pada tahun 1999 di Malaysia. Hingga saat ini ia terus melakukan penelitiannya di nuca lale (Manggarai).

Cerita dari Rembong dan Rajong
Dari penelitiannya, Maribert Erb mendapati cerita (dongeng) kepercayaan permulaan kehidupan dunia di Rajong. Orang Rajong percaya bahwa kehidupan manusia pertama terdapat di Rajong. Di sana terdapat seperti taman Firdaus berikut terdapat buah terlarang, ular dan jejak kaki nenek moyang. Cerita ini seolah visualisasi kisah manusia pertama dalam kitab genesis.

Berdekatan dengan Rajong, terdapat sebuah perkampungan Rembong. Dalam kaitannya dengan magis kosmologis, Orang Rembong menyebut dirinya sebagai ata mame dan orang orang Rajong sebagai ata ta’a. Orang Rembong dan Rajong memiliki kualifikasi tertentu dalam pengerjakan mata pencahariannya. Orang Rembong sebagai ata mame mempunyai mata pencaharian sebagai penenun. Orang Rajong sebagai ata ta’a mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Hukumnya adalah orang Rembong tidak boleh ikut panen atau bertani sebab jika demikian maka orang Rembong dengan sendirinya akan mendapat tulah atau sanksi alam. Bagitu juga halnya dengan orang Rajong bahwa orang Rajong tidak boleh ikut dalam menenun sebab jika demikian maka orang Rajong akan mendapat tulah terhadap hasil mata pencahariannya. Relasi kausalitas ini menciptakan dasar ekonomi terhadap dua kampung tersebut. Relasi ekonomi terjadi dengan aktivitas perdagangan antara orang Rembong dan orang Rajong. Orang Rembong memperdagangkan hasil tenunan dan orang Rajong memperdagangkan hasil pertanian. Harga terjadi tergantung pada kesepakatan dalam proses jual dan beli.

Orang Manggarai Dan Budayanya
Pertanyaan mencuat dilayangkan kepada seorang antropolog adalah tentang keaslian. Dari mana asal-usul orang Manggarai? Pertanyaan ini berkaitan dengan sejarah awal orang Manggarai. Pernah muncul cerita bahwa kemungkinan asal-usul orang Manggarai adalah orang Mangkabau. Cerita ini muncul dikarenakan kemiripan ritual budaya dengan Minangkabau. Tetapi menurut Maribert Erb, asal-usul orang Manggarai bukan berasal dari Minangkabau. Belum ada bukti sejarah bisa memastikan bahwa orang Minangkabau pernah datang dan menetap di daerah Flores barat tersebut. Menurutnya, berdasarkan penelusurannya, orang Minangkabau biasanya mendatangi suatu daerah dan menetap di suatu daerah karena mereka mendapatkan keuntungan ekonomis. Pertanyaannya, untuk apa mereka datang ke Manggarai yang saat itu belum menunjukan keuntungan ekonomis bagi mereka? Dalam beberapa wawacaranya dengan orang Manggarai tentang asal-usul orang Manggarai, sering didapati jawaban dengan dongeng dan bahasa kiasan. Satu diantaranya adalah cerita orang Manggarai berasal dari bambu. Jawaban ini hanya melambangkan bahwa mereka sudah lama menetap di daerah tersebut sehingga mereka pun tidak tahu dari mana mereka berasal. Dan keaslian orang Manggarai adalah mitos. Semakin kita bertanya tentang keaslian maka kita tidak akan pernah menenukan jawabannya. Suatu keaslian selalu disertakan dengan pertanyaan tentang keasilannya.

Sejarah kerajaan di wilayah nusantara juga mempengaruhi Manggarai. Kerajaan Goa dan Bima turut andil dalam perkembangan kehidupan sosialitas Manggarai. Aktivitas perdagangan antarpulau (kerajaan) mempengaruhi sistem “pemerintahan” dan budaya Manggarai. Akibatnya, kehidupan masyakarat Todo dan Kempo dipengaruhi oleh kerajaan Bima. Masyarakat Labuan Bajo dipengaruhi oleh kerajaan Goa (Makasar). Dan distribusi budak pun terjadi akibat relasi perdagangan tersebut. Penamaan wilayah di Flores barat ini pun sangat terkait dengan relasi kuasa dalam sejarah kerajaan ini. Versi penamaan Manggarai pun dianggap berasal dari bahasa Bima yakni manga dan rai (manga=cangkar dan rai= pencuri). Kerajaan Bima saat itu menyebut orang-orang di wilayah Flores barat sebagai pencuri cangkar atau manggarai. Sejak saat itu nama manggarai menjadi populer. “Tetapi cerita ini merupakan salah satu strategi penguasaan atas suatu wilayah dalam relasi kuasa”, jelas pater Frans Mansen, SVD.

Dalam beberapa penelitiannya, Maribert Erb sudah melihat bagaimana orang Manggarai berpikir tentang budayanya sendiri. Atas kesadaraan ini, orang Manggarai mulai menyusuri potensi budayanya sendiri selain supaya generasi berikutnya tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri tetapi juga supaya hasil cipta, rasa dan karsa orang Manggarai dapat diketahui dan dinikmati oleh orang lain (potensi pariwisata). Dokementasi dan penulisan budaya Manggarai pun mulai ditingkatkan. Kesenian-kesenian khas (caci, sanda, mbata, dll) orang Manggarai pun diberdayakan. Kearifan dan kekayaan budaya lokal sangat penting untuk menyelamatkan kehidupan bersama yang lebih baik dan damai. Maribert Erb mengutip seorang penulis yang mengatakan bahwa kehidupan paling baik di bumi ini adalah hidup berkomunitas yang kecil dimana semua saling kenal dan membantu. Kemudian ia menambahkan bahwa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan bumi ini selain kembali ke lokal.

Hidup di zaman sekarang, like or dislike, kehidupan lokal tentu dipengaruhi oleh pentas global. Orang Manggarai pun masuk dalam agenda globalisasi. Budaya Manggarai mendapati tantangannya sendiri. Karena pengaruh ini, budaya Manggarai sendiri tidak mengalami perubahan. Yang berubah adalah cara pandangan (mind set) orang Manggarai terhadap budayanya sendirilah yang berubah. Inilah pergeserannya. Pergeseran cara pandang ini juga dipengaruhi cakar pemerintah dan gereja yang sangat hegemonik. Regulasi pemerintah dan tafsir hegemonik gereja atas budaya Manggarai mengakibatkan terbentuknya fungsi pembatasaan atau pelarangan terhadap beberapa kebiasaan adat dalam budaya Manggarai.

Adat belis tetap dipertahankan sebagai “ritual” sebelum sebuah sebuah pasangan melangsungkan pernikahan. Sebelum pemerintahan orde baru sangat otoriter, orang Manggarai biasa menggunankan hasil-hasil alam untuk membayar pajak kepada pemerintah. Begitu juga dengan adat belis. Untuk belis, orang Manggarai biasanya menggunakan kebau, sapi, babi dan ayam. Tetapi kemudian orde baru memasukan uang sebagai ke wilayah Manggarai. Alasannya pemerintah butuh bajak dalam bentuk uang untuk pembangunan. Sejak itulah uang digunakan untuk belis. Menurut Maribert Erb, uang inilah yang merusak nilai. Apa budaya kalau bukan nilai? Nilai budaya dalam belis pun kabur di mata uang.

Sementara itu, dalam panji tourism, pemerintah dalam hal ini dinas pariwasata menjadikan budaya kesenian Manggarai sebagai seni pertunjukan. Parade kesenian budaya digelar untuk mendapat simpati wisatawan domestik maupun manca negara. Kritiknya adalah dengan pertunjukan-pertunjukan seperti budaya kesenian Manggarai telah dijadikan sebagai barang komoditas yang terpampang baris dalam etalase. Dan dengan sendirinya, nilai dalam kesenian itu musnah dan tidak berbeda jauh dengan jenis pertunjukan lainnya. Kesenian seharusnya embodied dalam jiwa orang Manggarai. Dengan itu, orang Manggarai dapat membawa budayanya dalam kehidupannya sehari-hari (daily life) bukan semata-semata untuk pertunjukan. Pada hal jika pemerintah ingin manaikan posisi tawar pariwisata lokal, pemerintah seharusnya membantu mengaktifkan perangkat-perangkat adat yang telah mati suri atau pernah dimatikan fungsinya. Dengan demikian, kearifan lokal dan kekayaan kesenian lokal semakin diberdayakan sebab semua itu bagian dari cara hidup orang Manggarai. Slogannya, kembali pada kehidupan di lokal yang kecil. Suatu situasi yang paradoks pemerintah daerah adalah melakukan studi banding ke Bali dan ingin membangun pariwisata Manggarai seperti Bali. Sementara itu, banyak wisatawan yang keluar dari Bali mencari wilayah-wilayah lokal lainnya yang masih “asli” sebab sudah jenuh dengan Bali.

Budaya Manggarai merupakan warisan tanpa surat wasiat kepada orang Manggarai itu sendiri. Orang Manggarai sendirilah yang mempunyai kuasa untuk mempertahan keaslian budayanya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, budaya lokal Manggarai mendapat tantangan yang tidak ringan. Penulis mengutip Goenawan Mohamad bahwa seorang sosiolog, Anthony Gidens menyebutnya dengan sebuah kata kunci: risiko-yang baginya mendasari perikehidupan budaya saat ini. Dan dengan kesadaran akan risiko, kekuasan manusia Manggarai adalah kekuasaan menghadapi dirinya yang melihat budayanya berhadapan dengan budaya-budaya lain. Maribert Erb sudah datang ke Manggarai dari negeri seberang. Manggarai sudah menyentuh hatinya dan ia juga berkarya menyelamatkan warisan budaya lokal Manggarai. Orang Manggarai sangat mengapresiasi usahanya dan berterima kasih. Tetapi Maribert datang bukan untuk membuat sejarah Manggarai, melainkan sejarah bagi dirinya sendiri di tengah orang Manggarai. Lalu bagaimana orang Manggarai dalam sejarahnya melihat dan berpikir tentang budayanya sendiri? Bagaimana pun juga kelangsungan budaya Manggarai berada di tangan orang Manggarai itu sendiri.


Alfred Tuname
Jogja, 10 Oktober 2010

(www.alfred-tuname.blogspot.com)