Kamis, 13 Oktober 2011

Press Release: PENTAS BUDAYA TARIAN CACI MANGGARAI 2011

Tarian caci merupakan ekspresi budaya tradisional Manggarai. Ekspresi budaya tradisional tersebut mengusung tema “ca nai latang Manggarai” (satu hati untuk Manggarai). Pentas budaya tarian caci ini akan diadakan pada tanggal 16 oktober 2011 di Puro Pakualaman, Yogyakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Mahasiswa dan orang tua yang tergabung dalam organisasi IKAMARSTA (Ikatan Keluarga Besar Manggarai Timur Seluruh Yogyakarta) sebagai panitia dan melibatkan seluruh orang Manggarai yang berada di Yogyakarta.

Pentas budaya tarian caci mengungkapkan kesehatian orang Manggarai akan kecintaan tanah kelahiran Manggarai. Bagi orang Manggarai perantauan, khususnya di Yogyakarta, acara ini merealisasikan ungkapan khas orang Manggarai yakni “neka hemong kuni agu kalo” (Jangan pernah melupahkan tanah kelahiran).

Di Manggarai, caci itu sendiri adalah tarian kesatriaan pria-pria Manggarai. Watak kesatriaan itu terlihat pada ketangkasan menggunakan peralatan dan pernak-pernik caci. Peralatan dan pernak-pernik tersebut, dalam bahasa Manggarai, adalah panggal, lalong ndeki, nggorong, nggiling, agang, larik, sapu dan songke. Caci secara etimologis berasal dari dua suku kata yakni ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti lawan. Jadi, caci berarti tarian seorang melawan seorang yang lain. Prinsipnya adalah sportif dan kreatif dalam aksi.

Selain tarian caci, ada juga tarian lain yang bertalian dengan pentas budaya Manggarai yakni tarian tiba meka, danding dan 2 (dua) tarian kreasi (sae kaba-ndundu ndake-pua kopi). Masing-masing tarian tersebut mengungkapkan kehangatan sikap orang Manggarai dan menceritakan kebiasaan dalam realitas orang Manggarai.

Pentas budaya tarian caci Manggarai 2011 akan dihadiri oleh Sri Paduka Paku Alam IX sebagai tamu kehormatan dan pembuka acara. Kehadiran Sri Paduka Paku Alam IX adalah sebuah representasi dukungan masyarakat Yogyakarta dan kebanggaan bagi orang Manggarai di Yogyakarta. Dukungan itu juga datang dari kerabat keraton dan sederet pejabat pemerintahan Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY) yang akan hadir dalam acara pentas budaya tersebut.

Mayoritas orang Manggarai yang berada di Yogyakarta akan terlibat secara aktif maupun pasif dalam acara pentas budaya tarian caci Manggarai 2011. Selain orang Manggarai sendiri, terdapat pula sahabat-sahabat nusantara yang berada di Yogyakarta yang diundang untuk menyaksikan acara tersebut, diantaranya sahabat-sahabat dari Flores, Sumba, Timor, Alor, Aceh, Nabire, Sanggau, Ketapang, Viking (Bandung), Bali dan Sulawesi Selatan. Mereka semua diundang untuk melihat lebih dekat satu lagi kekayaan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan.

Cinta akan budaya adalah conditio sine qua non kelestarian budaya. Oleh karena itu, pentas budaya tarian caci Manggarai menjadi sangat penting orang Manggarai khusunya orang Manggarai di Yogyakarta sebagai wujud ekspresi kecintaanya pada budaya sendiri sekaligus ikut melestarikan satu dari ribuan kekayaan budaya Indonesia, tarian caci Manggarai.

Contact person:

Alfred Tuname (081227651017)

Minggu, 22 Mei 2011

Sendang Sriningsih: Ikamarsta Punya Cerita

Via

Bising keramaian kota Djogjakarta telah samar-samar terdengar. Lampu-lampu jalan terlihat seperti titik-titik bintang dalam galaksi kota itu. Perjalanan meliuk-liuk mengikuti aras pinggiran jalan persawahan rakyat. Hamparan sawah luas tak lagi tampak. Kadang hanya terlihat ujung daun padi nan hijau yang merefleksikan sinar kunang-kunang yang sedang bermain.

Sorotan lampu menerjang ruas-ruas gelap. Sementara kelopak mata menabrak riuhnya binatang-binatang kecil yang mungkin pacarannya tergangu oleh kehadiran kami. Roda kendaran terus berputar. Hingga di ujung tanjakan jalan itu roda berhenti. Tempat tujuan sudah di ujung mata. Sendang Sriningsih.

Sekelompok duta Manggarai Timur berarak menapak jalan-jalan tanjak sembari mengenang dan berdoa kisah 2000 tahun silam, Salvator Mundi dalam via dolorosa (Jalan Salip). Sementara hidup itu sendiri adalah perjalan iman. menjalani iman dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab berarti kemampuan untuk menanggapi seruan Tuhan, yang kepada-Nya tujuan hidup ini. “Domine, ad quem ibimus? Verba vitae aeterna habes” (Yohanes 6:68).

Cahaya lilin-lilin kecil menyala di tiap istana perhentian, persitiwa sebelum Paskah. Terurai doa sepanjang jalan itu hingga di ujung kisah lalu menyesah umat dalam ujud “kasihanilah kami ya Tuhan, kasihalah kami. Ya Allah, kasihanilah kami, orang berdosa ini”.

About Us

Tikar-tikar dibentangkan di lantai yang bersih dan dingin. Tapi cuaca saat itu tidak dingin. Tak ada hujan, hanya tetes embun yang jatuh mengenai dedaunan yang lain. Cahaya lampu joglo agak suram. Dan dalam diam, Ikamarsta makan malam. Makan sebelum lapar meski tak harus berhenti sebelum kenyang. Makan untuk hidup.

Tidak hanya reba-molas Ikamarsta yang bersama ziarah saat itu, ada juga simpatisan dan simpatisin. Dalam Tuhan, tidak ada kami, tidak ada kamu sebab hanya ada kita. Omnes vos fraters estis, kalian semua adalah saudara. Karena bersaudara, maka kita semua adalah satu (ut omnes unum sint). Dengan semangat kebersamaan itu, kita membuat cerita. Cerita tentang kita, di malam itu.

Cerita kita dimulai dengan perkenalan. Sebuah pemeo lama, “tak kenal maka tak sayang”, menjadi akar cerita bersama. Saling mengenal akan mengalahkan keterasingan (alienasi). Game (permainan) perkenalan di malam hanyalah alat bantu untuk saling sayang. Yang belum kenal akan saling mengenal. Yang sudah kenal akan semakin dekat. Yang bermusuhan menjadi saling memaafkan dan kembali mesra. Without forgiveness we are savages. Yang segan atau malu (mungkin karena cintanya ditolak) akan kembali akrab. Yang relasinya (nyaris) putus semoga rujuk kembali dan menghapus talak. Setidaknya semua kebersamaan atas dasar saling kenal, akrab, mesra dan “baku sayang”.

Game perkenalan dengan setangkai bunga berwarna putih (putih melambangkan ketulusan) itu memunculkan gelak tawa dan serunya sendiri. Caranya adalah memperkenalkan diri sendiri dan memberikan bunga itu kepada orang yang ingin dikenalinya. Setiap orang yang menerima bunga tersebut melakukan hal sama kepada orang yang lain. Syaratnya adalah harus kepada lawan jenis (laki-laki ke perempuan/perempuan ke laki-laki). Sebagai contoh di malam itu, “ Nama saya Ledi D. Kuliah di AKPER Pantirapih. Asal saya Manggarai Barat. Bunga ini saya persembahkan kepadamu sebagai tanda persahabatan”. Lalu kae Rijkard menerima bunga itu dan berkata, “saya tidak mau kalau hanya sahabat”. Ini hanya candaan seorang kakak kepada adik. Atau, “Nama saya Yuyun. Asal dari Jawa Timur. Saya kuliah di Sanata Dharma, jurusan Akuntansi. Saya teman dari pacarnya mas Ophank. Dan bunga ini saya persembahkan kepada Abang sebagai ungkapan persahabatan”. Dan Rino Kele Naar menerima bunga itu sambil dengan sedikit berkeringat mengucapkan , “terima kasih, mba”. Atau cerita lain, “Nama saya Vani. Kuliah di Atma Jaya. Status complicated. Bunga ini sebagai ungkapan rasa sayang persahabatan kepadamu”. Dan perempuan yang menerima bunga itu memberikan senyum termanisnya sambil berkata, “...ma kasih ya kak”. Ini hanya secuil simulasi cerita dari puluhan cerita dalam game perkenalan itu. Setelah game perkenalan, dilanjutkan dengan game yang dinamai als een kip zonder kop. Game ini dimulai dengan menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” lalu meniru gerak-gerik seekor bebek. Game ini semacam ice breaking untuk acara selanjutnya.

Selanjutnya adalah acara diskusi untuk membahas perkembangan organisasi dan rencana-rencana kegiatan waktu yang akan datang. Ada yang sangat bersemangat berbicara dan membicarakan semua ini. Ada juga yang hanya duduk dengar, ngantuk-ngantuk dan bengong. Tapi semua ini tak bisa dipermasalahkan. Kisah rumit organisasi selalu pasti terjadi. Dalam organisasi, ada tipe manusia seperti sebuah motto Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, United State of America, yakni mens et manus. Ada tipe orang sebagai pemikir (Latin, mens=berpikir) yang berpikir dan banyak berbicara tentang idea. Ada tipe orang sebagai pekerja lapangan (Latin, manus= tangan). Keduanya bersimbiosis mutualis dan kedudukannya sederajat. Bekerja tanpa berpikir akan seperti bebek tanpa kepala (als een kip zonder kop). Berpikir tanpa melakukan seperti bebek tanpa kaki (als een kip zonder foot). Artinya semua akan sia-sia tanpa satu melengkapi yang lain. Dan diskusi pun terus melibas malam larut.

Malam bergerak semakin pekat. Sementara udara dingin semakin membungkus tubuh. Hampir di penghujung hari semua berkumpul di depan gua Maria, Sendang Sriningsih. Hening menyeliputi hati yang menengadah ke langit saat kepala merunduk. Dalam doa Rosario, semua ujud doa disampaikan kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Per Meriam ad Jesum. Dan seraya memohon Ave Maria, ora pro nobis (doakanlah kami). Sebab kita percaya dan yakin bahwa “dengan cintanya sebagai seorang Ibu, Bunda Maria menjaga saudara-saudari Puteranya yang kini masih mengembara di dunia dan masih dirundung bahaya dan kecemasan, sampai diantar masuk ke tanah air yang membahagiakan” (Lumen Gentium, No. 67).

Menunggu Pagi

Setelah doa malam, doa rosario, tak ada lagi acara selain hanya menunggu pagi. Ada yang memilih untuk cepat-cepat mengurai kisah dalam mimpi di lelapnya tidur. Ada yang menghabiskan waktu dalam cerita (curhat), nyanyi dan poker-pokeran.

Mungkin lantaran kelelahan atau tak biasa bercengkrama saat bulan meninggi, atau karena seorang adik yang diharapkan hadir saat itu tapi tak hadir, beberapa teman dan kae langsung mengambil posisi nyaman untuk beristirahat. Dinginnya udara malam memaksa mereka membentuk formasi tubuhnya senyaman mungkin setidaknya bisa menghalau angin malam. Ada yang seperti formasi pistol revolver, tangan terlentang seperti lukisan karya Leonardo da Vinci dan ada pula seperti formasi kuda laut serta kaki lurus dengan kedua tangan di dada. Ada cerita, seorang teman pria cukup tampan membiarkan dirinya memerangi angin malam yang dingin dengan memberikan sarung tenunnya kepada seorang putri nan ayu dan berkata, “ini tulus lho mba”. Sayangnya, putri nan ayu itu menolaknya dengan halus. Sudah ada sarung lain yang lebih dahulu menghangatkan putri ayu itu. Juga ada seorang adik pria, hitam manis dan cukup tinggi yang menaruh hati pada seorang weta cantik. Karena ia seorang yang sangat pemalu, ia hanya menyimpan dan memendam rasa itu ke alam bawah sadarnya. Tetapi alam bawah sadar punya logikanya sendiri. Ia selalu bocor. Dengan cara yang misterius, alam bawah sadar mendesak rasa itu menyeruak dalam tidur lelapnya. Pria itu mengigau (Manggarai, nupa) dengan bilang, “...hot jacket coklat ket dakun e...”. Kalimut itu disebut berulang-ulang. Beberapa teman hanya tersenyum sebab mereka tahu weta cantik dengan jacket berwarna coklat hanya satu orang. Weta itu bernama Atri. Berbahagialah weta ini setidaknya ia sudah tahu ada satu orang lain yang simpati padanya. So sweet, bukan?

Jalan terbaik untuk mengurai rasa suka adalah cerita kepada teman (curhat, curahan hati) selain menulis atau konsultasi. Atau lebih baik lagi, mengungkapkannya dengan cara apa pun. Karenanya, ada beberapa teman yang memgisi waktu dengan curhat. Curhat tentang asmara dua hati, pria dan wanita. Biasa, semua tentang gonjang-ganjing kasih tersampai dan kasih tak sampai. Jarak dekat pun jarak jauh.

Ada pula yang hanya berdendang dengan iringan gitar. Mereka berdendang raing memecah sunyi seolah sedang bersahut-sahutan dengan nyanyian jangkrik yang memuji alam semesta dan Penciptanya. Harmoni nyanyian itu melahirkan kegembiraan duniawi dan keilahian. Dalam bahasa Yunani, kalos kai agathos, sebuah keseimbangan dari yang baik dan yang indah. Mereka terus bernyanyi sebelum cubit sinar mentari menyentuh kulit. Sementara itu teman-teman yang lain bermain poker-pekeran dengan taruhan menyebut mantan kekasihnya atau seorang yang sementara disukainya.

Hari sudah kembali. Mentari bersinar terang untuk semua orang. Sol omnibus lucet. Ekaristi sudah siap dimulai. Ekaristi kudus menjadi penutup rangkain acara sekaligus sebagai berkat perutusan untuk aktivitas selanjutnya. Ekaristi adalah pancaran sentripetal yang menarik seantero kehidupan umat beriman kepada persatuan dengan Kristus. Dalam ekaristi, Yesus Kristus adalah Sacerdos Magnus in aeternum (Imam yang Agung untuk selamanya). Dan melalui tumbangan tangan imam, Rm. Stefanus Rahmat, kami (peserta ziarah) diberkati dan diutus untuk mewarta kasih kepada semua orang.

Sebelum pulang, kami dengan caranya masing-masing me-memorizing tempat ziarah ini. Berfoto-ria menjadi cara yang paling mudah untuk mengenang kisah di tempat ini. Jepretan gambar yang terbentuk dalam lensa kamera seolah menyiratkan ucapan sayonara dan hati-hati serta datanglah kembali jika ada kesempatan. Mesin kendaran sudah dihidupkan dan siap mengantarkan kami ke tempat di mana kami bertolak. Adios, volveremos a vernos, Sendang Sriningsih. Terima kasih sudah memberi ruang hingga kami menjadi lebih dekat dengan Ibu kami, Bunda Maria.


Djogja, 18 Mei 2011
Alfred Tuname

The End Of Rebok

Sebenarnya, rebok itu sudah tak ada lagi. Ini adalah tesis besarnya. Inilah hanyalah hipotesa sementara. Sebenarnya juga tidak pantas jaha untuk mengatakan itu dengan terma “sebenarnya” sebagai kata penegas. Tetapi kenyataan hampir mempertegas keadaan itu. keadaan ketiadaan distribusi rebok.

Rebok adalah sejenis pangan khas orang Manggarai. Rebok terbuat dari bahan-bahan hasil perkebunan dengan diolah secara tradisional. Dengan keterampilan spesifik, buah jagung dan biji beras dioleh menjadi “sejenis” tepung manis. Tepung manis itulah rebok. Panganan khas orang Manggarai.

Rebok sangat enak dimakan bila sedang bercanda atau ngobrol. Biasanya menjadi pelengkap minum kopi dan teh di pagi dan sore hari. Catatannya, orang Manggarai sangat gemar minum kopi. Kopi tidak bisa dipisahkan dari orang Manggarai. Iklim Manggarai yang dingin memungkinkan tanaman kopi tumbuh dan berkembang. Manggarai merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di propinsi Nusa Tenggara Timur. Produksi kopi yang melimpah menjadi salah satu alasan mengapa orang Manggarai sangat gemar mengkonsumsi (minum) kopi. Kopi Manggarai, khususnya.

Seiring perjalan waktu, masa demi masa, rebok hampir kehilangan pesona. Hampir-hampir rebok jarang diproduksi. Keberadaan rebok hanya tersisa di akhir cerita. Rebok hampir punah bukan lantaran rumitnya teknis pembuatan. Ia hampir punah karena pergeseran minat orang Manggarai itu sendiri terhadap rebok. Jelas, pergeseran minat tidak terjadi begitu saja. Ada begitu banyak faktor yang mempegaruhinya. Salah satu diantaranya dalah persepsi. Persepsi orang Manggarai itu terhadap rebok. Lalu apa yang mempengaruhi persepsi itu?

Kadang, ketika berbicara minat berarti berbicara selera. Padahal, selera adalah sesuatu yang sangat subjektif. Sepertinya agak sulit orang mencampuri perihal yang sangat subjektif ini. Tetapi bagaimana pun, sesuatu yang sangat subjektif pun tidak berdiri sendiri. Ada faktor x (out there) yang juga turut membentuk selera tersebut. Bedah persepsi di sini dimaksudkan untuk melihat cara bekerja selera dan minat tersebut. Persepsi itu sendiri, secara leksikal, adalah the extraction and use of information about one’s environtment (exteroception) and one’s own body (interoception)1. Jadi persepsi adalah pecahan-pecahan pikir dan atau rasa seorang atas informasi-informasi yang diperoleh. Dengan respon sensoritas (melihat, mendengar, mencium, menyentuh dan lain-lain) seseorang dapat membuat sebuah sebuah persepsi atas sesuatu. Persepsi terkonsep dalam persepsi seseorang melalui variabel-varibel independen, di luar dirinya.

Persepsi orang Manggarai terhadap rebok juga dipengaruhi oleh variabel-variabel di orang Manggarai itu sendiri. Variabel-variabel itu masuk dan terdistribusi secara random di lingkungan orang Manggarai. Secara sederhana, variabel tersebut dibedakan atas dua kategori yakni lokal dan global. Di tingkat lokal, popularitas rebok jauh merosot dibandingkan jenis panganan lokal lainnya, secara khusus kompiang. Roti kompiang sangat populer di Manggarai bahkan hanya ada dan diproduksi di Manggarai. Kompiang diproduksi oleh warga Manggarai keturunan Tionghoa yang secara “monopoli”. Masuk dalam pemikiran ekonom Jean Baptise Say, “supply creates its own demand”, supply rutin kompiang menciptakan permintaan yang tinggi. Setiap pagi orang Manggarai (Ruteng) mengkonsumsi kompiang. Sementara itu, Ruteng bukan hanya berarti locus, regensi tetapi juga sebagai basis hegemon yang telah lama menjadi pusat budaya orang Manggarai. Lama kelamaan kompiang menjadi branding yang kuat melekat alam pikir orang Manggarai. Branding ini lambat laun menguasai alam ketaksadaran. Kompiang beranjak menjadi indentik dengan Manggarai. Padahal, kompiang tidak lahir dari kreasi banyak orang Manggarai tetapi hanya monopoli bisnis sekelompok orang. Persepsi tentang kompiang pun makin berakar di tanah congka sae. Dan preferensi atas kompiang lebih kuat dibandingkan dengan rebok. Seolah-olah kemanggaraian lebih terasa dengan mengkonsumsi kompiang dibandingkan rebok yang adalah panganan tradisional orang Manggarai.

Arus globalisai dengan segala nilai dan rayuannya juga turut mempengerahi persepsi orang Manggarai. Wacana globalisasi dengan dengan cengkraman nilai-nilai kapitalisme menohok sekaligus mengubah pandangan seseorang atas realitas hidupnya. Pragmatisme dan instanitas secara kasat mata mempengaruhi subjek. Tak luput juga orang Manggarai, meski tidak semua. Dalam halnya dengan rebok, subjek tidak perlu susah-susah membuat sendiri untuk memproduksi rebok. Pasar telah menyediakan panganan (subtitusi) lain yang lebih massal. Rebok semakin ditinggalkan. Dalam hal “oleh-oleh”, orang kurang memilih rebok. Lebih banyak pilihan jatuh pada kompiang sebagai “oleh-oleh” tersebut. Pilihan pada rebok meninggalkan kesan tradisional (udik/kampung) sementara kapitalisme mendorong orang untuk kelihatan modern dengan atribut-atributnya yang absurd.

Haruskan rebok ditinggalkan oleh orang Manggarai sendiri? Rebok adalah kekayaan dalam budaya orang Manggarai. Mempertahankan rebok berarti mempertahankan budaya Manggarai itu sendiri. Di tengah arus budaya yang begitu cepat berubah, kreativitas dalam memproduksi rebok sangat penting. jelas kreativitas jangan sampai menghilangkan bentuk aslinya. Rebok adalah tetap rebok dengan bentuknya sendiri. Tawarannya adalah menjadikan rebok sebagai sumber pendapatan dalam aktivitas ekonomi rakyat. Rebok tidak akan pernah hilang di bumi congka sae jika ada yang terus memproduksinya. Jika tidak, ia hanya akan dikenang, hanya ada dalam cerita.


Djogja, 01 April 2011
Alfred Tuname


1) Robert Audi, The Cambridge Dictionary Of Philosophy, Second Edition (New York: Cambridge University Press,1999), 654.

Senin, 11 April 2011

Manggarai Timur: Masyarakat Adat dan Pembangunan


Kita sering mendengar tentang masyarakat adat. Apa arti dari masyarakat adat itu sebenarnya? Refleksi Gerakan Masyarakat Adat yang berlangsung di Ciawi tgl 8-9 April 2001 mendifinisakan bahwa masyarakat adat adalah kehidupan masyarakat yaitu “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur, turun temurun di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang di atur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan”.



Dari pengertian di atas juga dapat dikatakan bahwa yang membentuk negara adalah masyarakat adat. Dalam perkembanganya, masyarakat adat kurang diperhatikan baik itu soal keberadaan dalam hak dan kewajibannya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia. Gejolak-gejolak yang muncul di berbagai daerah menunjukan masyarakat adat sadar akan keberadaannya yang selama ini hilang. Bahkan banyak pihak yang menilai bahwa negara kita seolah-olah akan kehilangan jati dirinya sebagai suatau bangsa yang besar.



Bagaimana dengan masyarakat adat Manggarai Timur?



Dalam kurun waktu 3 tahun terakir kita sering mendengar tentang penolakan tambang di bumi congka sae. Pro-kontra tentang tambang masih ramai dibicarakan. Dialektika itu dilakukan baik melalaui media elektronik dan cetak, diskusi, demonstrasi. Mahasiswa sambil menikmati kopi juga selalu membicarakan tentang tambang di Manggarai. Kenapa tambang di tolak?

1. Tambang bisa merusak lingkungan

2. Tambang tidak memberikan kesejahteraan

3. Tambang bisa mengahncurkan masa depan anak cucu kita

4. Tambang mendatangkan bencana dan penyakit, dll



Ada berbagai macam jawaban untuk menolak tambang hadir di bumi congka sae. Tetapi apakah jawaban di atas sudah terwakili/ tepat untuk kita menolak tambang?

Mari kita kembali pada masyarakat adat. Berbagai gejolak yang muncul di bumi congka sae selalu muncul dari kelompok yang menamakan masyarakat adat. Hal ini menandakan bahwa masyarakat adat sadar akan keberadaan akan eksistensinya sendiri. Segala sesuatu yang hadir di tanahnya harus diketahui dan disetujui oleh masyarakat adat setempat.



Bagaimana dengan kabupaten Manggarai Timur?



Sebagai kabupaten yang baru lahir, hal ini sangatlah baik untuk menjadi perhatian kita semua dan khususnya oleh Pemerintah Daerah Manggarai Timur (Pemda Matim). Apa yang menjadi hak dari masyarakat adat harus diperhatikan. Pemda Matim mendengar segala aspirasinya sehingga kelak apa yang menjadi tujuan kita yaitu kesejahteraan bersama (bonum commune). Dan kita harus yakin bahwa dengan keterlibatan masyarakat adat pembangunan pasti berjalan dengan baik dan berkesinambungan (sustainable).





Djogja, 11 April 2011

Heribertus Prayono

Sabtu, 05 Maret 2011

TENTANG AKU DAN KETULUSANKU

Aku pernah berpikir untuk berhenti di sini
meski harus mencundangi diri dgn meratapi kedua kakiku yang letih
mencoba mencari katarsis hati dgn mencambuki tanah yang kering
karna kau terlalu cepat berlari dan jujur sepertinya aku tak kuat lagi

aku pernah berpikir untuk mengakhiri semua ini
meski harus menipu diri dengan menulis status "tak suka kamu lagi"
tapi kemudian kuhapus lagi
karna kupikir setiap mimpi bukan untuk dihindari tapi untuk diraih

aku pernah berpikir untuk cukup memendamnya di hati
dan ternyata itu sama saja membiarkannya tumbuh meski seakan enggan bersemi
sampai kemudian aku yakin itu adalah anugrah ilahi
yang bunda bilang tetap harus disirami

aku pernah berpikir bahwa sebaiknya itu kuungkapkan lewat sebotol wiskey
tapi kemudian botolnya kututup lagi
seakan itu bukanlah teman yg pernah kuakrabi
karna setelah kupikir itu hanya membuatku kerdil

dan kini
harapan itu masih tersisa sedikit
aku mencoba menata lagi apa yg pernah kusebut mimpi
karna demi semua yang ada di hati, aku takkan pernah sudi membiarkanmu berjalan sendiri



oleh Opang Sarwolfram

Sabtu, 19 Februari 2011

Ikamarsta Pelihara "musang": a mode of existence (bagian II)

“Don't remove the fence before you know why it is there”
(Adagium lama orang Indiana)


Organisasi "Malin Kundang"


Pertanyaan tentang relasi organisasi-organisasi kemanggaraian dengan Ikamaya adalah sebuah pertanyaan yang cukup urgen. Partanyaan ini menyiratkan posisi dan cara kerja semua organsasi ke-manggarai-an di Djogjakarta. Posisi itu adalah apakah organisasi-organisasi ke-manggarai-an itu berada dalam naungan Ikamaya atau tidak? Dan lalu bagaimana cara kerjanya?


Terdapat beberapa organsasi kemanggaraian di djogjakarta. Ikamarsta, Society, Ikalewa, Plakat, Jxcom, Loyola Community, Gavarta, Ikamabayo, Ex-Pio, Passy, Im3 dan lain-lain. Semua organisasi tersebut menggotong sentimentalitas ke-manggarai-an. Secara tersirat, semua organisasi tersebut berada dalam naungan Ikamaya sebab lahir dari rahim yang sama yakni kultur Manggarai. Like or dislike, kondisinya memang demikian. Ikamaya dalam premis mayornya adalah mencakup semua orang Manggarai yang berada di Djogjakarta. Itu berarti organisasi yang juga lahir dari rahim budaya manggarai adalah bagian dari asuhan induk Ikamaya. Alur pikir deduktif tersebut dipakai untuk mengakomodasi organisasi-organisasi "malin kundang" yang menegasi keberadaan Ikamaya sementara dalam nomenklatur dan relasinya masih menggunakan sentimentalitas kultur Manggarai.


Ikamarsta dalam alur sentimen kultur ke-manggarai-an bukan merupakan merupakan organisasi "malin kundang". Sebagai "lingkaran kecil", Ikamarsta mengakui keberadaan Ikamaya sebagai "lingkaran besar". Dan Ikamarsta berada di dalam lingkaran besar itu. Semua anggota Ikamarsta adalah warga Ikamaya tetapi tidak semua warga Ikamaya adalah anggota Ikamarsta. Ikamarsta adalah organisasi yang turut mendukung keberadaan Ikamaya sebagai organisasi induk orang Manggarai di Djogjakarta. Logika matematis ruang tersebut dirasa sangat logis untuk menjelaskan posisi Ikamarsta dan Ikamaya sebab daerah arsirannya adalah kultur Manggarai. Tetapi itu tidak berarti ikamarsta harus "coret" lantaran sudah ada Ikamaya. Ikamarsta memiliki ciri dan nilai "spesifik" yang dalam perkembangannya juga sebenarnya turut membantu keberadaan Ikamaya. Dan identitas Ikamarsta terdefenisikan dari ciri dan nilai yang "specifik" tersebut. Shared values define the team.


Ikamarsta sebagai sebuah organisasi tidak bisa berkerja sendirian. Kerja sama dan komunikasi dengan berbagai organisasi extra Ikamarsta sangat penting untuk menggapai visi akbar Manggarai yang damai dan sejahtera. Pakem "extra ikamarsta nulla salus" ditepis habis-habisan oleh Ikamarsta. Oleh sebab itu perlu ada sinergi yang baik dalam interaksi dengan lawa dan organisasi dalam sayap Ikamaya. Interaction fuels action. Dalam aksinya, ikamrsta mengakui keberadaan Ikamaya dan merupakan bagian dari Ikamaya. Tetapi, politic of recognition ini tidak serta-merta berarti segenap aksi Ikamarsta berada dalam "kontrol" Ikamaya. Status Ikamarsta tetap independen. Ikamarsta mengontrol dirinya an sich. Relasi kuasa antara Ikamarsta dan Ikamaya adalah relasi yang bersifat koordinatif (garis putus-putus) dan bukan pertanggungjawaban dalam sistem komando (garis tegas). Artinya, Ikamarsta bertanggung jawab atas dirinya sendiri hanya saja tetap berkoordinasi dengan Ikamaya. Ikamarsta akan berkoordinasi dengan Ikamaya jika dalam program kerjanya ingin melibatkan semua warga Ikamaya. Jadi, pengakuan Ikamarsta akan keberadaan Ikamaya hanya pada tataran koordinasi bukan pertanggungjawaban. Ini adalah proposal untuk kehidupan bersama yang lebih baik.


Ikamarsta Dalam Visi

Visi Ikamarsta adalah terwujudnya kekeluargaan dan keakraban di antara sesama warga manggarai timur di djogjakarta. Alexander Pope mengatakan bahwa "kemarin sudah menjadi mimpi. Dan esok hari hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini yang sungguh nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok sebagai visi harapan". Visi yang besar itu adalah akibat nyata dari kehidupan kekeluargaan hari ini. Suasana kekeluargaan dan keakraban hari ini boleh jadi cermin untuk masa depan yang baik.

Visi itu telah dirumuskan dalam musawarah anggota (musang) secara berjamaah. Hendakanya itu menjadi komitmen bersama semua anggota Ikamarsta. Jelas, musyawarah anggota bukanlah segala-galanya. Tetapi kita pun sudah berani memulai untuk berkomitmen. Komitmen itu harus dinyatakan dalam aksi bersama dalam hubungannya dengan organisasi itu sendiri maupun dengan realitas Manggarai Timur. Sebagai sebuah organisasi dengan mayoritas mahasiswa, Ikamarsta sebaiknya tidak hanya mengurus kelangsung hidup organisasi semata tetapi juga harus memiliki kesadaran partisipatif dan konstruktif terhadap realitas yang terjadi di Manggarai Timur. Ini adalah tuntutan kepada mahasiswa (homo academicus) sebagai agent of change. Artinya, konstruksi manggarai timur yang lebih baik harus juga menjadi target kerja setiap homo academicus yang tergabung dalam Ikamarsta. Ini adalah kerja eksternal (politik) Ikamarsta. Sementara itu, musang harus tetap dipelihara untuk kerja internal organisasi in optima forma sebab di sana ada refleksi, koreksi dan apresiasi. Akhinya selamat bekerja. Viva Manggarai Timur. Viva Manggarai Raya.




Djogja, 16 Februari 2011
Alfred Tuname

Ikamarsta Pelihara "Musang": A Mode Of Existence (Bagian I)

Pendahuluan

Setiap organisasi punya aturannya sendiri. Aturan itu perlu dan penting untuk mengatur dirinya senidiri (itself). Tentu saja, aturan untuk organisasi bukan organisasi untuk aturan. The goal is more important than the role. Tetapi the rule dibuat sebagai pengantar menuju the goal. Jika sebuah organisasi tidak memiliki atau merasa tak perlu aturan, itu berarti bukan organisasi. Itu hanya sekelompok orang yang bergerak seperti bola billiard. Bola yang saling menabrak dan lalu pergi entah ke lubang mana. Atau seperti crowded supporter yang mengorganisasikan diri berdasarkan minat-emosi yang sama lalu berjamaah pulang ke liangnya masing-masing tanpa ada suatu ikatan. Memang aturan dirasa (hanya) justru mengkrangkengi ruang gerak dan libertas seseorang. Tetapi sampai dimana pun gerak dan libertas itu berada dalam ruang limit yang saling bertubrukan. Sebab itu, aturan menjadi conditio sine qua non. Dan dengan aturan itu, organisasi/ikatan tidak punah.


Di djogjakarta ada sebuah ikatan yang terdiri dari orang-orang yang mengendong sentimen kultur dan kedaerahan. Sebuah ikatan yang terbentuk karena keinginan bersama untuk berkumpul dan menghimpun diri. Sentimen dalam kesamaan kultur Manggarai (the manggaraian) dan kedaerahan di wilayah bagian timur Manggarai. Organisasi itu kemudian dinamakan Ikatan Keluarga Besar Manggarai Timur Seluruh Yogyakarta. Nama organisasi itu kemudian disingkat Ikamarsta. Sebelum Ikamarsta pernah lahir sebuah organisasi dengan sentimen yang sama. Organisasi itu adalah Forum Keluarga Besar Manggarai Timur atau Forsam. Forsam dibubarkan seletah terbentuknya Ikamarsta.


Ikamarsta didirikan pada tanggal 15 mei 2007. The fundinng fathers Ikamarsta membentuk organisasi ini sebab sebauh forum dirasa tidak cukup menampung the Manggaraian bagian timur manggarai yang mulai tumpah ruah di djogjakarta. Ketidakjelasan kepengurusan Forsam juga turut memberi andil untuk dibentuk sebuah organisasi baru yang kemudian disebut Ikamarsta.


Sentimen kultur dan kedaerahan yang digotong oleh Ikamarsta hanyalah triger untuk membentuk sebuah organisasi. Alasannya Ikamarsta dibentuk adalah pertama, memupuk solidaritas dan kerakraban di antara sesama warga Manggarai bagian timur Manggarai di Djogjakarta. Orang Manggarai di Djogjakarta sangat banyak. Summa totum orang manggarai di Djogjakarta tentu memiliki kepentingan dan aspirasi yang berbeda. Kepentingan dan aspirasi kelompok besar ini agak sulit diakomodasi. Oleh sebab itu, didirikan sebuah wahana kecil dengan kepentingan dan apirasi tentu juga berbeda tetapi lebih mudah dikerucutkan. Bud Wilkinson dalam bukunya "The Book Of Football Wisdom”, menulis bahwa "if a team is to reach its potential, each player must be willing to subordinate his personal goals to the good of the team”. Solidaritas dan kearaban (the good of the team) pun lahir dari kepentingan dan apirasi yang relatif sama ini. Kedua, menggali dan mengekspos permata-permata Manggarai di wilayah bagian timur melalui kreativitas dan bakat warga Manggarai bagian timur. Bahwa setiap orang juga bertanggung jawab tanah kelahirannya, natas labar sebab bagian dari mahkluk sosial (ens sociale). Itulah pesan leluhur (pede dise empo) bahwa neka oke kuni agu kalo. Ikamarsta pun ingin mengambil peran itu.


"Kondom Bocor" Ikamaya

Ikamaya (Ikatan Keluarga Manggarai Raya Yogyakarta) adalah organisasi yang menghimpun semua orang manggarai yang berada di Djogjakarta. Eksistensi perjalanan Ikamaya menempuh waktu yang sangat panjang. Dari beberapa cerita para senior dan orang tua, pada mulanya Ikamaya adalah merupakan singkatan dari Ikatan Keluarga Mahasiswa Manggarai Yogyakarta. Saat itu, anggota Ikamaya hanya terdiri dari mahasiswa manggarai yang menempu kuliah di Djogjkarta. Seiring perjalan waktu, nomenklatur Ikamaya mengalami perubahan arti. Pada tanggal 22 Juni 2008, dalam sebuah pertemuan informal di wisma PKRI Jl. Dr. Wahidin No. 54, Djogjakarta, Ikamaya diberi arti baru yakni Ikatan Keluarga Manggarai Raya Yogyakarta. Kata "raya" yang mengikuti kata "Manggarai" mengandung arti kesatuan kultural. Kesatuan kultural inilah yang digotong oleh segenap warga manggarai Djogjakarta untuk mengatasi keterbelahan orang manggarai secara distrik administratif pemerintahan (Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat).


Defacto, organisasi tidak berhenti pada revivalitas Ikamaya ataupun ikamarsta, X-pio, et cetera. Organisasi lain dengan membawa kesamaan sentimentalitas (dari bahasa prancis, sentimentalité yang mengandung arti "kesadaran", "sensibilitas, "subjektivitas", "perasaan") kultural Manggarai atau pun memorial historis kesamaan nasip (Ernest Renan) mewabah dan menjamur. Boleh jadi, fenomena proliferasi itu terjadi lantaran "kondom bocor" Ikamaya. Atau bisa juga, animo dan birahi untuk berkumpul dan berorganisasi sedang meninggi.


Objektivitas "kondom bocor" ikamaya hanyalah persepsi subjektif sebagai benih dalam "anakan-anakan" organisasi. Rumusan bebasnya dijerumuskan dalam kutipan Rousseau, “un jeste mulieu entre l'indolence d'état primitif et la pétulant activité de notre amour propre”. Tetapi, penulis pun tidak berniat membahas tampakan payung bocor ini sebab cakupan kajiannya sangat luas. Kait pembicaraannya adalah contagion effect "kondom bocor" tersebut. Pakem berwajah neolit bahwa "banyak anak, banyak rezeki" menggelembung dalam "kecelakaan kondom-bocor Ikamaya" ini. Sebagai (organisasi), Ikamaya sejatinya (sudah) berbaik hati (benevolen) dengan munculnya "anakan-anakan" organisasi baru yang spirit dan semangatnya hampir sama. Teleologinya adalah Manggarai yang lebih baik. Sebuah cara pembacaan masa depan dengan kaca mata kekinian. Kini "kecelakaan" (kondom bocor) itu dilihat sebagai berkah bahwa semua orang dengan "anakan-anakan" organisasinya itu juga punya idealisme. Inilah blessing in disguise. Sebab, bagaimana pun "anakan-anakan" itu tetap berada dalam domain "induk" Ikamaya dan hanya saja gerakannya lebih sporadis yang (sepertinya) mengoptimalkan "partikularitas"nya dalam rendaman "universalitas" Ikamaya. Bagaimana "anak-anakan" organisasi ini melihat "induk"nya adalah sebuah pertanyaan penting dalam posisi mereka yang dilematis.


Djogja, 16 Februari 2011
Alfred Tuname