Senin, 31 Januari 2011

Tambang: Bravo Bupati Matim!

“...if we succeed in establishing co-operation in the cause of peace, peace on earth will be more stable and durable.”

-Nikita S. Khrushchov, mantan Chairman Of Council Of Ministers Of The U.S.S.R



Membaca berita yang dinarasikan oleh Frans Anggal tentang penolakan tambang di kabupaten Manggarai Timur (Matim) menggelitik rasa dan nalar semua orang yang ingin Matim berkembang sejahtera. Gelombang penolakan terhadap tambang mencapai rating yang tinggi sejak investor-investor tambang mulai merambah wilayah flobamora. Gelombang penolakan tambang oleh warga flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) telah menyulut api penolakan tambang di kabupaten Manggarai Timur. Antusiasme penolakan terhadap aktivitas tambang jelas berangkat dari kesadaran akan bahaya tambang dan bukan atas bandwagon effect, ekopraksia atau ikut-ikutan.

Tambang adalah ranah ekonomi yang juga menambang ranah sosial dan politik. Dari sinilah, tambang menuai persoalan. Masyarakat flobamora adalah masyarakat yang sangat agraris. Mayoritas masyarakat flobamora bergelut dengan sumber daya lahan (pertanian), sumber daya hutan, sumber daya air dan sumber daya laut dan psisir. Pertanian adalah sumber mata pencaharian yang paling banyak di antara sumber daya-sumber daya tersebut. Bahkan, tanah (pertanian) adalah obyek magis yang mempunyai nilai-nilai religius. Nilai-nilai itu dibalut dalam ritual-ritual adat yang menghubungkan relasi vertikal antara sang pencipta dan makluk ciptaan dan segala isinya. Ritual adat itu dilambungkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah memberikan nafkah kehidupan dari hasil-hasil pertanian dan hutan yang telah mereka garab bersama. Oleh sebab itu, tindakan porak-poranda ekskavasi destruktif terhadap tanah merupakan bentuk penghancuran terhadap sumber nafkah dan religio-sosialitas masyarakat lokal. Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumber daya mineral (tambang) di tanah flobamora merupakan ancaman serius terhadap masyarakat lokal.

Dalam UUD 1945 ayat 3 memang diatur kekayaan alam di perut bumi di miliki negara dan bisa diberikan kepada pengelola (investor) untuk memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakayat. Dalam kasus pertambangan di flobamora, pertanyaan yang muncul adalah kesejahteraan rakyat yang mana? Seringkali, kehadiran tambang membawa konflik vertikal dan horizontal di antara warga masyarakat lokal. Konflik tersebut bermula dari tingkat kecemburuan dan kecurigaan rakyat yang tinggi akan perbedaan kualitas hidup antara perusahaan penambang dengan warga di mana tambang itu beroperasi. Belum lagi masyarakat teralienasi dari lingkungannya sendiri akibat provokasi-provokasi larangan kepada masyarakat lokal untuk melintas di daerah pertambangan yang nyata-nyata tempat masyarakat lokal bertani. Konflik antara korporasi dan warga lokal dibibit dari persoalan-persoalan ini. Dalam relasi corporate-society ini, bahaya konflik semakin meningkat ketika masyarakat lokal mulai terdesak akibat pengelolaan limbang tambang yang tidak becus sehingga mencemari sumber daya lahan, air dan pantai-pesisir. Eksternalitas ini sering terjadi. Dan masyarakatlah yang menjadi korban eksternalitas ini. Corak kehidupan masyarakat lokal pun hancur dengan kehadiran tambang tersebut.

Menilik pada anatomi konflik tersebut dan bahaya eksternalitas yang mengancam corak kehidupan masyarakat lokal, pemeritah harus menentukan sikap yang bijak. Sikap bijak pemerintah harus tetap berkomitmen pada destinasi kesejahteraan rakyat lokal. Komitmen itu dinyatakan dengan bersama menjaga sumber-sumber penghidupan masyarakat. Setelah reformasi 1998 dan dengan digulirkan Undang-Undang otonomi daerah tahun 1999 dan 2004 serta Pemilihan Kepada Dearah (Pilkada) tahun 2004, pemeritah daerah semakin gencar mencari sumber-sumber pendapatan daerah (PAD) selain dana alokasi umum dan alokasi khusus (DAU/DAK). Relasi state-coporate dibuka lebar-lebar. Investor-investor lokal maupun asing diundang untuk berinvestasi di daerah. Investor pertambanngan pun ikut masuk dalam lorong tersebut. Dalam iklim demokrasi, political will pemerintah tersebut tetap harus mempertimbangkan peran parstisipatif rakyat. Pertimbangan-pertimbangan konstruktif dalam relasi state-society akan membantu proses investasi di daerah. Pemerintah diharapkan tidak mengobarkan rakyatnya sendiri hanya demi pajak dan pembangunan. Kadang pembangunan daerah tidak sejalan dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah menuju kesejateraan akan berjalan baik dan proper apa bila jalan demokrasi partisipatoris antara state-society-corporate berjalan baik.

Pernyataan resistensi Bupati Manggarai Timur, Drs. Yosep Tote, terhadap eksistensi tambang di Matim merupakan sebuah gentlemen agreement antara pemerintah daeran dan rakyat Matim. Bupati Matim mengatakan “,...saya tidak akan pernah mengeluarkan izin tambang”. “Penegasan itu disampaikan kepada masyarakat Manggarai Raya dalam Forum Manggarai Timur Jakarta, yang berlangsung di Hotel Ibis, Jakarta Barat, Jumat 10 Desember 2010” (Flores Pos Selasa 14 Desember 2010 dalam “Bupati Matim Tolak Tambang”, 16 Desember 2010, www.fransanggal.blogspot.com). Pernyataan penolakan lahir dari komunikasi (bantang cama reje leleng) yang baik antara rakyat Matim dan pemeritah daerah Matim. Inilah esensi demokrasi deliberatif tinggat lokal (lonto leok) yang dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat Matim. Masyarakat Matim dapat sejahtera meski tanpa tambang. Tambang telah merusak kualitas air pertanian dan perikanan mereka. Tambang telah mendestruksi lahan pertanian dan lingkungan mereka. Kualitas hidup masyarakat lokal akan terdegradasi oleh hadirnya tambang. Keputusan penolakan tambang oleh bupati Matim adalah kebijakan yang bijak sebagai pemimpin. Bravo bupati Matim. Ti saluto! Dalam memperjuangan kedaualatan rakyat Irlandia (Film Michael Collins) dari Empire of British, Michael Collins berorasi sesama rakyat bahwa “...we have a weapon more powerful than any in the whole arsenal of the British Empire! That weapon is our refusal. Out refusal to bow to any order but our own!” Belajar dari banyak pengalaman dan kasus di berbagai tempat di tanah air (Newmont Nusa Tenggara, Newmont Minahasa Raya, Freeport Indonesia, Exxon Mobile di Aceh, Newcrest Halmahera, tambang timah di pulau Bangka, tambang di Karimun, dll), kehadiran tambang telah merusak kehidupan komunal dan lingkungan. Defisit yang ditinggalkan lebih dasyat daripada profit pemerintah daerah yang diperoleh dalam kalkulasi ekonomi. Mengizinkan investor tambang di daerah berarti casu consulto, sebuah kecelakaan yang disengajakan. Oleh sebab itu, kerajaan tambang adalah musuh bersama masyarakat Matim. Penolakan terhadap tambang adalah senjata melawan kerajaan tambang dengan segala terornya. Refusal is our weapon. Senjata itu telah ditembakan oleh pemimpin rakayat Matim itu sendiri. Senjata itu ditembakan untuk mempertahankan bonum communae di seluruh tanah Manggarai Timur. Akhirnya, sekali lagi bravo bupati Matim. Kami dukung!!!


Djogja, 21 Desember 2010
Alfred Tuname
(anggota Ikatan Keluarga Besar Manggarai Timur Yogjakarta,
IKAMARSTA)