Senin, 31 Januari 2011

Sebuah Epigram Sang Gembala

Sebuah kereta mengantarnya ke kota ini. Perjalan panjang yang melelahkan tak membuatnya patah untuk mengunjungi dombanya. Suaranya adalah tongkat gembala yang memberi arah tuntunan di jalan adil dan benar. Sang gembala itu adalah Mgr. Hubertus Leteng, Pr. uskup dioses Ruteng, Manggarai, Flores, NTT.

Uskup dioses Ruteng sudah menyentuhkan kakinya di tanah Djogjakarta saat mentari pagi belum merayap di kota ini. Hari itu, hari minggu, 05 Desember 2010. Sebuah perjalanan setelah lambaian tangan ia tujukan pada ibu kota, Jakarta. Kunjungan ini sangat berarti penting bagi masyarakat Manggarai di Djogjakarta, masyarakat Manggarai diaspora. Berkat dalam tumpangan tangannya memberi ketenangan pada umat Manggarai diaspora setelah the cosmos speaks in its patterns, erupsi Merapi merangsek hati penuh cemas. Suatu keyakinan bahwa Sang Ilahi akan selalu berserta (emanuel) umatnya yang percaya pada-Nya. Kesetiaan-Nya pada umatnya begitu kuat seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.

Sebagai insan budaya, Mgr. Hubertus Leteng, Pr. pun diterima dengan adat dan istiadat orang Manggarai. Ritus kepok tiba meka menjadi lambang ungkapan selamat datang dan umat Manggarai Djogjakarta menyambut penuh rasa suka cita akan kehadiran Uskup Ruteng di kota ini. Kita berasal dari tempat dan budaya yang sama, tanah ledo lise empo, tae dise ame, Manggarai. Dan warga Manggarai Djogjakarta adalah umat Manggarai diaspora.

Kebersamaan dan kebahagiaan umat Manggarai diaspora dirayakaan dalam ekaristi kudus. Dengan misa konselebrasi, ekaristi kudus dirayakan secara meriah dan penuh hikmat. Lagu-lagu berbahasa Manggarai (dere serani) yang dilantun oleh koor gabungan mahasiswa-mahasiswi Manggarai Djogjakarta, “IKAMAYA” Choirs, towe songke, dan lomes tarian putra-putri cilik Manggarai memberi kekhasan dan keagungan misa kudus yang dipimpin oleh Mgr. Hubertus Leteng, Pr. di gereja St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Malioboro, Djogjakarta. Umat gereja St. Fransiskus Kidul Loji dan umat Manggarai disapora bersama-sama antusias dan penuh hikmat mengikuti ekaristi sore itu. sore, pikul 18.00 WIB. Hujan deras yang mengguyur seluruh kota tak mampu meredakan kerinduan mereka untuk merayakat ekaristi bersama sang gembala. Saat itu, umat kristiani merayakan misteri kerahiman Allah yang selalu ada sepanjang zaman dalam doa, pujian dan komuni bersama.

Usai ekaristi bersama, warga Manggarai Djogjakarta berkumpul bersama di gedung sebelah gereja. Manik mata woko lonto cama, manik lelon woko lonto leok. Wan koe etan tua, bersila loce dan makan bersama. Jamuan Makan jasmaniah setelah makanan rohani. Iringan nyanyian mahasiswa-mahasiswi Manggarai Djogjakarta mengantar situasi kebersamaan menjadi lebih rileks. Persaudaraan tumbuk dalam riak-riak kebersamaan itu. Dan kita semua adalah saudara. Sang Guru Agung mengajarkan itu, omnes vos fratres estis, kamu semua adalah saudara.

Sebelum jamuan bersama dimulai, warga Manggarai diaspora melalui panitia meminta pemimpin gereja katolik Manggarai, Mgr. Hubertus Leteng, Pr., menyampaikan sepatang dua patah kata. Ia juga sangat senang bisa berkesempatan dapat menikmati kebersamaan dengan orang-orang Manggarai yang ada di Djogjakarta. Kebersamaan yang lekat, kumpul bersama, memang cukup sulit diadakan di kota besar seperti Djogja. Namun, kehadiran Uskup Ruteng dapat merapatkan kembali kebersamaan orang Manggarai Djogjakarta yang tersebar di sudut-sudut kota. Saat itu, orang Manggarai berkumpul selain karena kehadiran sang gembala di kota ini tetapi juga karena panggilan budaya akan identitas yang sama sebagai orang Manggarai. Dan kita adalah orang Manggarai yang telah diwariskan dengan nilai-nilai budaya kebersamaan yang sangat kental. Semangat berbudaya dalam nilai “nai ca anggit tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako; pedir weki rentu sai, neki weki manga ranga” tidak hanya tersimpan dalam pikiran tetapi juga terpatri dalam hati dan terasa dalam jiwa. Kebersamaan itu pun semakin lebih mesra.

Dalam kesempatan itu pula, Mgr. Hubertus Leteng, Pr. menyampaikan keprihatinan gereja terhadap umat Manggarai di seluruh tanah Manggarai, Flores, NTT. Pernyataan keprihatinan itu adalah ungkapatan teologis terhadap kondisi sosial dan budaya di bumi nuca lale. Dengan itu, teologi tidak berhenti pada ajaran iman yang benar (orthodoxy), tetapi mencapai pemenuhannya dalam tindakan yang benar (orthopraxy). Seperti esai Hartono Budi, SJ. dalam “Iman, Rasionalitas Dan Bela Rasa”, teologi tidak lagi hanya intellectus fidei (pemahaman tentang iman) tetapi diperbaharui menjadi intellectus amoris (pemahaman tentang cinta) yang menjadi konkret dalam dunia masa kini sebagai intellectus iustitiae atau intellectus misericordiae (pemenuhan tentang rasa keadilan dan bela rasa).

Keprihatinan itu berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat Manggarai adalah masyarakat petani pada umumnya. Dengan tehknologi pertanian yang sederhana, masyarakat pertanian Manggarai mengolah tanah pertaniannya. Masyarakat Manggarai menyadari tanah merupakan sumber nafkah kehidupan mereka. Untuk itu kehidupan yang selaras dengan alam menjadi sangat penting. Ritus dalam kebudayaan orang Manggarai pun banyak mencerminkan penghargaan terhadap alam untuk kehidupan yang selarar dan susteinable. Dari tanah pertanianlah orang Manggarai membangun perekonomian Manggarai, meski bukan satu-satunya. Sektor pertanian masih menjadi donatur utama PAD tiga kabupaten di tanah Manggarai. Kasadaran akan pertanian sebagai sumber utama kesejahteraan orang Manggarai pada umumnya maka kerusakan lingkungan (environmental degradation) merupakan sebuah tantangan. Environmental degradation merupakan sebuah tantangan sebab setiap insan manusia, orang Manggarai dan seluruh masyarakat dunia, harus berjuang habis-habisan untuk menjaga keutuhan lingkungan alam dari kerusakan dan pengrusakan. Tanah dan lingkungan di seluruh wilayah Manggarai bukan hanya aset tetapi juga mempunyai nilai religius dalam tradisi orang Manggarai. Orang Manggarai berterima kasih kepada Mori Jari Agu Dedek yang telah memberikan tanah untuk dipijak dan membangun rumah serta darinya diperoleh hasil-hasil bumi untuk kesejahteraan. Oleh sebab itu, kehadiran pertambangan dengan usungan untung pragmatis di tanah Manggarai tidak saja merusak tanah dan alam sekitar tetapi juga telah merusak tatanan nilai dalam tradisi orang Manggarai.

Keprihatinan juga ditujukan pada pendidikan di Manggarai. Pendidikan merupakan sarana pembebasan (liberation) dari kebodohan dan kemiskinan. Sejak masuknya agama katolik di tanah Manggarai, gereja telah berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah-sekolah mulai dari TKK hingga Sekolah Tinggi didirikan untuk membantu mencerdaskan masyarakat Manggarai. Dan dengan kecerdasannya itu, masyarakat Manggarai dapat menata kehidupannya sendiri demi terciptanya masyarakat yang beradab dan sejahtera sebab pendidikan adalah pengetahuan dengan menggunakan segenap potensi yang dimiliki oleh manusia an sich. Namun, dalam perkembangannya karya-karya mulia itu mulai dibatasi. Negara melalui pemerintah daerah mulai melakukan resistensi tehadap karya pendidikan swata yang berkembang di Manggarai. Ironinya, ditengah manajemen pendidikan nasional yang sangat amburadul, pemerintah justru melakukan kebijakan limitasi karya swasta dalam pendidikan. Sejatinya, dalam kondisi merosotnya proses pendidikan nasional, pemerintah dan swata bergandengan tangan membangun layanan pendidikan yang baik dan bermutu demi menciptakan kecerdasan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Begitu pula di Manggarai, di tengah ketakberdaannya memanajemen dan melorotnya mutu pendidikan, pemerintah daerah harus bergandengan tangan dengan semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk menciptakan generasi-generasi Manggarai yang cerdas dan berkepribadian baik demi mewujudkan masyarkat Manggarai yang adil dan sejahtera.

Keprihatinan gereja adalah keprihatinan kita semua. Ketidakadilan dan ketidaksejahteraan mengusik rasa kemanusiaan kita sebagai bagian dari indentitas Manggarai. Ketika kebenaran dipenjara di balik jeruji-jeruji ketidakadilan, kita perlu bergerak melawan dengan pikiran dan karya kita masing-masing. Sebagai insan yang bukan pengidap amnesia of genesis (amnesia asal usul), segenap daya perlu dicurahkan untuk menciptakan bonum commune dan bonum publicum di nuca lale, Manggarai. Kita dapat berkarya di mana saja tetapi perhatian kita juga perlu ditujukan kepada tempat dimana kita pernah dibesarkan dan diberi bekal. Neka hemong kuni agu kalo adalah permintaan sekaligus perintah untuk tetap menjadi bagian dari anak kandung dan pewaris budaya dan tanah Manggarai.

“Berkarya di mana saja itu baik. Berkarya di tanah Manggarai itu lebih baik”. Sebuah epigram Mgr. Hubertus Leteng, Pr. kepada warga Manggarai diaspora yang sedang menempuh ilmu di kota pelajar ini berisi ungakapan harapan gembala kepada generasi-generasi cerdas untuk perubahan yang lebih baik di tanah Manggarai. Karya dan pemikiran yang cemerlang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Manggarai yang sejahtera dan damai pro patria et ecclesia.

Akhirnya, umat Manggarai Djogjakarta mengucapkan terima kasih kepada Mgr. Hubertus Leteng, Pr. atas tumpangan berkat dan kebersamaan di kota ini. Pimpinlah kami umatmu dan seluruh umat Manggarai dengan tongkat kegembalaan dan kebijaksanaanmu dalam terang Roh kudus menuju Kristus, Sang Gembala Agung.

Djogjakarta, 06 Desember 2010
Alfred Tuname

www.alfred-tuname.blogspot.com