Senin, 31 Januari 2011

NTT: Bae Sonde Bae, Sonde Bae-Bae

“Ekonomi bukan hanya soal memperoleh penghasilan, tetapi juga bagaimana menggunakan penghasilan itu secara baik untuk meningkatkan kehidupan dan kebebasan kita”

-Amartya Sen


NTT Dalam Berita
Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir-hampir tak lepas dari discourse kemiskinan dan kurang berkembang. Studi-studi pembangunan daerah dan pemberitaan media memaparkan itu secara jelas. Data-data nasional menjelaskan kondisi tersebut secara statistik. Setiap orang yang pernah membaca data statistik nasional akan mendapati angka gemuk terkait pembangunan di NTT meski dengan skor penilaian yang berbeda. Hingga dalam satu kesempatan, ada pihak yang prihatin terhadap pembangunan di NTT dengan berkata dalam satu akronim, Nanti Tuhan Tolong (NTT).

Gubernur NTT, Frans Leburaya, dalam sebuah Rakornas Perhubungan mengemukakan sebuah keluhan bahwa “NTT tidak seperti diberitakan media massa. NTT termasuk salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam, hanya belum sepenuhnya digarap untuk kesejahteraan masyarakat” (Kupang, kompas.com, 02 Desember 2010). Pernyataan tersebut mengudara terkait Hari Pers. Harapan gubernur adalah pers lokal dapat mengubah gambaran (image) buruk tentang NTT. Image tersebut adalah hamparan kemiskinan yang diderita sebagian besar masyarakat NTT.

Pernyataan gubernur tersebut adalah sebuah pernyataan politis. Dikatakan pernyataan politis sebab pemberitaan kondisi kemiskinan NTT memiliki ketelanjangan keterkaitan dengan kepimimpinannya. Berita tentang kemiskinan yang terus melanda tanah flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor) menunjukan kegagalan pemimpin di daerah itu. Citra kegagalan pemimpin akan berimbas pada efek-efek politik sang gubernur. Dan secara tidak sadar, pernyataan gubernur dalam Rakornas Perhubungan tersebut mengindikasikan kecemasan pemimpin akan kegagalan pembangunan di NTT. Tetapi adalah tidak bijak jika terus menyalahkan media massa yang telah mengangkat fenomena kemiskinan di NTT. Media massa hanya berperan mengungkapkan kondisi real masyarakat sesuai dengan fakta dan kebenaran. Prinsipnya adalah truth news is a good news. Memang sering kali, media massa juga turut “bermain” di air keruh tetapi banyak riset dan pemaparan data-data statistik memberikan pembutian atas pembangunan di NTT.

NTT Dalam Angka
Dalam diseminasi wacana pembangunan, sering kali indikator-indikator fenomena kemiskinan di Indonesia menuai pro-kontra. Bahkan indikator kemiskinan dengan menggunakan metode Gini Rasio, Kuznet’s Index, Oshima’s Index dan Theil Decomposition Index sering mendapatkan resistensi. Oleh sebab itu, terminologi daerah maju dan kurang maju pun sering dipakai. Indikasi maju dan kurang majunya suatu wilayah sering dikaitkan dengan pertumbuhan sektor-sektor, antara lain sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, industri, pertanian, media masaa, jasa-jasa dan lain-lain. Pengamatan sektoral terhadap indikator-indikator tersebut sangat penting sebab kemiskinan dapat berarti fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral. Hanya memang kelemahannya adalah kita juga menjumpai penduduk-penduduk miskin justru di wilayah yang justru telah maju secara sektoral. Dan secara statistik propinsi NTT masih dikategorikan sebagai daerah kurang maju. Dengan laju pertumbuhan ekonomi triwulan II 2010 sebesar 5,24%, year on year (yoy) (sumber: www.bi.go.id), NTT mengalami kenaikan positif pertumbuhan ekonomi. Sumbangsi terbesar adalah sektor pertanian yang terus mengalami perkembangan signifikan. UMR propinsi adalah RP 800.000,00 per bulan. Kenaikan pendapatan mendorong konsumsi masyarakat. Kenaikan konsumsi tersebut turut menaikan prosentasi perdagangan, jasa hotel dan restoran. Investasi di NTT mulai membaik sebesar 4,97% yoy tetapi masih didominasi oleh investasi fisik.

Sementara itu, penduduk miskin NTT tetap saja belum mengalami peningkatan. Pada data BPS tahun 2008, prosentasi penduduk miskin NTT adalah 25,65%. Hal itu lebih tinggi dari rata-rata penduduk miskin Indonesia 15,42%. Indeks Pembangunan Manusia selalu menghuni posisi terendah sebesar 66,15 lebih rendah dari rata-rata nasional yakni 71, 17. Angka tersebut membuat NTT selalu menempati posisi ke 31 sejak tahun 2004.

Kenyataan akan kemiskinan di NTT membuat wilayah tersebut akan menjadi back yard (halaman belakang) Indonesia. Laju pertumbuhan ekononomi regional jelasnya tidak menghempaskan rating kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan pendapatan bisa menjelaskan kemiskinan di NTT lebih dikategorikan oleh kemiskinan struktural. Pendapatan tinggi hanya bisa dinikmati oleh sekolompok golongan kecil. Mayoritas masyakat di sektor pertanian tetap saja miskin sebab masih merupakan petani tradional padahal peningkatan pendapatan merupakan bagian dari pengurangan kemiskinan.

NTT Dalam Pembangunan?

Dalam prinsipnya, pembangunan harus berfokus pada tiga hal. Tiga hal tersebut adalah berfokus pada semua aset (modal fisik, manusia dan alam), menyelesaikan aspek-aspek distributif sepanjang waktu, dan menekan kerangka kerja institusional bagi pemerintahan yang baik. Modal fisik dimulai dengan peningkatan investasi publik yang kerjakan oleh pemerintah. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berguna bagi masyakat. Investasi tersebut bermanfaat jangka panjang (long run) untuk menunjang faktor-faktor produksi masyakat. Pembangunan Jalan raya, jembatan, irigasi, terminal dan lain-lain harus benar-benar demi kepentingan perbaikan kehidupan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses pembangunan juga harus menjaga kelestarian alam. Hutan produksi dan hutan lindung dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Pertambangan yang merusak lingkungan harus dihindari sebab dapat mengganggu sosialitas dan budaya serta tradisi lokal. Selain itu, investasi dalam modal manusia dengan perhatian utama pada kualitas pendidikan dan kesehatan dapat membantu produktivitas masyarakat. Investasi dalam diri manusia dapat meningkatkan kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial. aspek-aspek distribusional sangat penting dalam proses pertumbuhan. Distribusi yang setara antara modal manusia, lahan dan aspek-aspek produktif akan meningkatkan proses pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan sebaran pendapatan yang merata dalam masyarakat. Kegagalan dalam distribusi akan mengakibatkan golongan kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Dan terakhir adalah kinerja pemerintah yang bersih dan transparan. Etos pelayanan publik yang baik dan kebijakan publik yang yang tepat akan membantu percepatan proses pembangunan.

Namun, jika prinsip-prinsip tersebut diletakan di atas peta NTT, realitas yang yang dijumpai adalah skala yang begitu besar dari idealitas-idealitas pembangunan. Distorsi kebijakan, korupsi dan buruknya etos layanan publik meramaikan tangga pembangunan daerah. Nepotisme dan sogokan mengakibatkan distorsi alokasi investasi fisik. Distorsi ini diperparah lagi dengan motif-motif politis. Kontraktor-kontraktor yang terlibat dalam dukungan pilkada menikmati keuntungan sebagai balas jasa. Investasi publik berjalan melambat. Korupsi mewarnai pembangunan sarana dan prasarana publik. konstuksi-konstruksi bangunan publik tidak bertahan lama dan tidak terawat dengan baik. Di beberapa kabupaten baru, alokasi belaja mobil-mobil dinas yang bermerk Eropa tinggi dari pada pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah mengucurkan dana BOS. Tetapi di tengah memburuknya pendidikan di NTT, dana BOS malah dijadikan ajang pendapatan tambahan bagi dinas-dinas pendidikan. Kesejahteraan guru di NTT yang sangat memprihatinkan mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan. Panorama kemiskinan juga turut mengakibatnya banyak anak yang putus sekolah. Sementara itu, dinas-dinas pendidikan sibuk merekayasa proyek hanya untuk mendapat jatah dari pada memperbaiki kualitas pendidikan. Dan rendahnya kualitas pendidikan itu berdampak pada rendahnya produktivitas dan merebaknya fenomena kekerasan di masyakarakat. Rendahnya produktivitas masyarakat akan berdampak pada rendahnya pendapatan daerah. Lalu dengan alasan mendongkrak pendapatan daerah, pemerintah mendatangkan investor di bidang pertambangan selelah proses kongkalikong dan pembodohan terhadap masyarakat tradisional. Pertambangan pun merangsek dan merusak habitat tradisional masyarakat. Kerusakan lingkungan pun tidak terhindarkan. Sementara itu, dalam sektor-sektor distribusi, pemerintah memelihara koneksi resiprokal khusus dengan kelompok-kelompok bermodal besar dan etnis tertentu yang siap memberi upeti besar untuk aktivitas politis dan proteksi. Masyarakat dan pedagang kecil pun hanya mendapatkan remah-remah.

Pertumbuhan ekonomi dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat NTT pun sebenarnya tidak mengalamai perubahan ke arah bonum communae. Kebijkaan publik, hukum dan sumber daya sudah dikuasai oleh kepentingan-kepentingan elite di daerah. Manfaat-manfaat untuk kesejahteraan rakyat telah ditelikung oleh kepentingan elite tertentu. Masyarakat NTT tetap saja mendekam dalam sarung kemiskinan. Lalu Gubernur NTT, Frans Leburaya, meresahkan pemberitaan tentang kemiskinan itu. memang tanah Flobamora memiliki kekayaan sumber daya alam. Tetapi bagaimana mungkin kekayaan itu dapat memiliki nilai ekonomis untuk kesejahteraan apabila political will pemerintah tidak pernah baik. Distorsi, fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme yang tinggi, pemborosan anggaran seringkali mengikuti kebijakan-kebijkan pemerintah. Pemerintah adalah suatu unit ekonomi. Sebagai suatu unit ekonomi ia berperan sebagai produsen untuk kepentingan masyarakat umum dan juga konsumen serta ikut ambil bagian dalam arus barang/jasa dan keuangan dalam perekonomian. Output-nya adalah perlindungi warga negara dan terciptanya keadilan sosial. ketika kemiskinan masih memenjarakan masyarakat NTT di manakah keadilah sosial itu? Meskipun masyarakakt NTT terus menari dan menyanyi “bae sonde bae, flomara lebi bae” tetapi kesadarannya akan mengatakan “bae sonde bae, flobamora sonde bae-bae”.

Jogja, 12 Desember 2010
Alfred Tuname

KET:
bae sonde bae, flomara lebi bae : baik atau tidak baik, flobamora
lebih baik
bae sonde bae, flobamora sonde bae-bae : baik atau tidak baik, flobamora
tidak berubah-berubah


Buku Sumber:
Ackerman, Susan Rose. 2000. Corruption And Government; Causes, Consequences And Reform. Cambrige University Press.
Gilarso T. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Yogyakarta:Kanisius
Said Rusli, et al.1995. Metode Indentifikasi Golongan Dan Daerah Miskin; Sebuah Tinjauan dan Alternatif. Jakarta:Grasindo
World Bank. 2001. The Quality Of Growth. Jakarta:Gramedia