Minggu, 22 Mei 2011

The End Of Rebok

Sebenarnya, rebok itu sudah tak ada lagi. Ini adalah tesis besarnya. Inilah hanyalah hipotesa sementara. Sebenarnya juga tidak pantas jaha untuk mengatakan itu dengan terma “sebenarnya” sebagai kata penegas. Tetapi kenyataan hampir mempertegas keadaan itu. keadaan ketiadaan distribusi rebok.

Rebok adalah sejenis pangan khas orang Manggarai. Rebok terbuat dari bahan-bahan hasil perkebunan dengan diolah secara tradisional. Dengan keterampilan spesifik, buah jagung dan biji beras dioleh menjadi “sejenis” tepung manis. Tepung manis itulah rebok. Panganan khas orang Manggarai.

Rebok sangat enak dimakan bila sedang bercanda atau ngobrol. Biasanya menjadi pelengkap minum kopi dan teh di pagi dan sore hari. Catatannya, orang Manggarai sangat gemar minum kopi. Kopi tidak bisa dipisahkan dari orang Manggarai. Iklim Manggarai yang dingin memungkinkan tanaman kopi tumbuh dan berkembang. Manggarai merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di propinsi Nusa Tenggara Timur. Produksi kopi yang melimpah menjadi salah satu alasan mengapa orang Manggarai sangat gemar mengkonsumsi (minum) kopi. Kopi Manggarai, khususnya.

Seiring perjalan waktu, masa demi masa, rebok hampir kehilangan pesona. Hampir-hampir rebok jarang diproduksi. Keberadaan rebok hanya tersisa di akhir cerita. Rebok hampir punah bukan lantaran rumitnya teknis pembuatan. Ia hampir punah karena pergeseran minat orang Manggarai itu sendiri terhadap rebok. Jelas, pergeseran minat tidak terjadi begitu saja. Ada begitu banyak faktor yang mempegaruhinya. Salah satu diantaranya dalah persepsi. Persepsi orang Manggarai itu terhadap rebok. Lalu apa yang mempengaruhi persepsi itu?

Kadang, ketika berbicara minat berarti berbicara selera. Padahal, selera adalah sesuatu yang sangat subjektif. Sepertinya agak sulit orang mencampuri perihal yang sangat subjektif ini. Tetapi bagaimana pun, sesuatu yang sangat subjektif pun tidak berdiri sendiri. Ada faktor x (out there) yang juga turut membentuk selera tersebut. Bedah persepsi di sini dimaksudkan untuk melihat cara bekerja selera dan minat tersebut. Persepsi itu sendiri, secara leksikal, adalah the extraction and use of information about one’s environtment (exteroception) and one’s own body (interoception)1. Jadi persepsi adalah pecahan-pecahan pikir dan atau rasa seorang atas informasi-informasi yang diperoleh. Dengan respon sensoritas (melihat, mendengar, mencium, menyentuh dan lain-lain) seseorang dapat membuat sebuah sebuah persepsi atas sesuatu. Persepsi terkonsep dalam persepsi seseorang melalui variabel-varibel independen, di luar dirinya.

Persepsi orang Manggarai terhadap rebok juga dipengaruhi oleh variabel-variabel di orang Manggarai itu sendiri. Variabel-variabel itu masuk dan terdistribusi secara random di lingkungan orang Manggarai. Secara sederhana, variabel tersebut dibedakan atas dua kategori yakni lokal dan global. Di tingkat lokal, popularitas rebok jauh merosot dibandingkan jenis panganan lokal lainnya, secara khusus kompiang. Roti kompiang sangat populer di Manggarai bahkan hanya ada dan diproduksi di Manggarai. Kompiang diproduksi oleh warga Manggarai keturunan Tionghoa yang secara “monopoli”. Masuk dalam pemikiran ekonom Jean Baptise Say, “supply creates its own demand”, supply rutin kompiang menciptakan permintaan yang tinggi. Setiap pagi orang Manggarai (Ruteng) mengkonsumsi kompiang. Sementara itu, Ruteng bukan hanya berarti locus, regensi tetapi juga sebagai basis hegemon yang telah lama menjadi pusat budaya orang Manggarai. Lama kelamaan kompiang menjadi branding yang kuat melekat alam pikir orang Manggarai. Branding ini lambat laun menguasai alam ketaksadaran. Kompiang beranjak menjadi indentik dengan Manggarai. Padahal, kompiang tidak lahir dari kreasi banyak orang Manggarai tetapi hanya monopoli bisnis sekelompok orang. Persepsi tentang kompiang pun makin berakar di tanah congka sae. Dan preferensi atas kompiang lebih kuat dibandingkan dengan rebok. Seolah-olah kemanggaraian lebih terasa dengan mengkonsumsi kompiang dibandingkan rebok yang adalah panganan tradisional orang Manggarai.

Arus globalisai dengan segala nilai dan rayuannya juga turut mempengerahi persepsi orang Manggarai. Wacana globalisasi dengan dengan cengkraman nilai-nilai kapitalisme menohok sekaligus mengubah pandangan seseorang atas realitas hidupnya. Pragmatisme dan instanitas secara kasat mata mempengaruhi subjek. Tak luput juga orang Manggarai, meski tidak semua. Dalam halnya dengan rebok, subjek tidak perlu susah-susah membuat sendiri untuk memproduksi rebok. Pasar telah menyediakan panganan (subtitusi) lain yang lebih massal. Rebok semakin ditinggalkan. Dalam hal “oleh-oleh”, orang kurang memilih rebok. Lebih banyak pilihan jatuh pada kompiang sebagai “oleh-oleh” tersebut. Pilihan pada rebok meninggalkan kesan tradisional (udik/kampung) sementara kapitalisme mendorong orang untuk kelihatan modern dengan atribut-atributnya yang absurd.

Haruskan rebok ditinggalkan oleh orang Manggarai sendiri? Rebok adalah kekayaan dalam budaya orang Manggarai. Mempertahankan rebok berarti mempertahankan budaya Manggarai itu sendiri. Di tengah arus budaya yang begitu cepat berubah, kreativitas dalam memproduksi rebok sangat penting. jelas kreativitas jangan sampai menghilangkan bentuk aslinya. Rebok adalah tetap rebok dengan bentuknya sendiri. Tawarannya adalah menjadikan rebok sebagai sumber pendapatan dalam aktivitas ekonomi rakyat. Rebok tidak akan pernah hilang di bumi congka sae jika ada yang terus memproduksinya. Jika tidak, ia hanya akan dikenang, hanya ada dalam cerita.


Djogja, 01 April 2011
Alfred Tuname


1) Robert Audi, The Cambridge Dictionary Of Philosophy, Second Edition (New York: Cambridge University Press,1999), 654.