Via Bising keramaian kota Djogjakarta telah samar-samar terdengar. Lampu-lampu jalan terlihat seperti titik-titik bintang dalam galaksi kota itu. Perjalanan meliuk-liuk mengikuti aras pinggiran jalan persawahan rakyat. Hamparan sawah luas tak lagi tampak. Kadang hanya terlihat ujung daun padi nan hijau yang merefleksikan sinar kunang-kunang yang sedang bermain.
Sorotan lampu menerjang ruas-ruas gelap. Sementara kelopak mata menabrak riuhnya binatang-binatang kecil yang mungkin pacarannya tergangu oleh kehadiran kami. Roda kendaran terus berputar. Hingga di ujung tanjakan jalan itu roda berhenti. Tempat tujuan sudah di ujung mata. Sendang Sriningsih.
Sekelompok duta Manggarai Timur berarak menapak jalan-jalan tanjak sembari mengenang dan berdoa kisah 2000 tahun silam, Salvator Mundi dalam via dolorosa (Jalan Salip). Sementara hidup itu sendiri adalah perjalan iman. menjalani iman dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab berarti kemampuan untuk menanggapi seruan Tuhan, yang kepada-Nya tujuan hidup ini. “Domine, ad quem ibimus? Verba vitae aeterna habes” (Yohanes 6:68).
Cahaya lilin-lilin kecil menyala di tiap istana perhentian, persitiwa sebelum Paskah. Terurai doa sepanjang jalan itu hingga di ujung kisah lalu menyesah umat dalam ujud “kasihanilah kami ya Tuhan, kasihalah kami. Ya Allah, kasihanilah kami, orang berdosa ini”.
About UsTikar-tikar dibentangkan di lantai yang bersih dan dingin. Tapi cuaca saat itu tidak dingin. Tak ada hujan, hanya tetes embun yang jatuh mengenai dedaunan yang lain. Cahaya lampu joglo agak suram. Dan dalam diam, Ikamarsta makan malam. Makan sebelum lapar meski tak harus berhenti sebelum kenyang. Makan untuk hidup.
Tidak hanya reba-molas Ikamarsta yang bersama ziarah saat itu, ada juga simpatisan dan simpatisin. Dalam Tuhan, tidak ada kami, tidak ada kamu sebab hanya ada kita. Omnes vos fraters estis, kalian semua adalah saudara. Karena bersaudara, maka kita semua adalah satu (ut omnes unum sint). Dengan semangat kebersamaan itu, kita membuat cerita. Cerita tentang kita, di malam itu.
Cerita kita dimulai dengan perkenalan. Sebuah pemeo lama, “tak kenal maka tak sayang”, menjadi akar cerita bersama. Saling mengenal akan mengalahkan keterasingan (alienasi). Game (permainan) perkenalan di malam hanyalah alat bantu untuk saling sayang. Yang belum kenal akan saling mengenal. Yang sudah kenal akan semakin dekat. Yang bermusuhan menjadi saling memaafkan dan kembali mesra. Without forgiveness we are savages. Yang segan atau malu (mungkin karena cintanya ditolak) akan kembali akrab. Yang relasinya (nyaris) putus semoga rujuk kembali dan menghapus talak. Setidaknya semua kebersamaan atas dasar saling kenal, akrab, mesra dan “baku sayang”.
Game perkenalan dengan setangkai bunga berwarna putih (putih melambangkan ketulusan) itu memunculkan gelak tawa dan serunya sendiri. Caranya adalah memperkenalkan diri sendiri dan memberikan bunga itu kepada orang yang ingin dikenalinya. Setiap orang yang menerima bunga tersebut melakukan hal sama kepada orang yang lain. Syaratnya adalah harus kepada lawan jenis (laki-laki ke perempuan/perempuan ke laki-laki). Sebagai contoh di malam itu, “ Nama saya Ledi D. Kuliah di AKPER Pantirapih. Asal saya Manggarai Barat. Bunga ini saya persembahkan kepadamu sebagai tanda persahabatan”. Lalu kae Rijkard menerima bunga itu dan berkata, “saya tidak mau kalau hanya sahabat”. Ini hanya candaan seorang kakak kepada adik. Atau, “Nama saya Yuyun. Asal dari Jawa Timur. Saya kuliah di Sanata Dharma, jurusan Akuntansi. Saya teman dari pacarnya mas Ophank. Dan bunga ini saya persembahkan kepada Abang sebagai ungkapan persahabatan”. Dan Rino Kele Naar menerima bunga itu sambil dengan sedikit berkeringat mengucapkan , “terima kasih, mba”. Atau cerita lain, “Nama saya Vani. Kuliah di Atma Jaya. Status complicated. Bunga ini sebagai ungkapan rasa sayang persahabatan kepadamu”. Dan perempuan yang menerima bunga itu memberikan senyum termanisnya sambil berkata, “...ma kasih ya kak”. Ini hanya secuil simulasi cerita dari puluhan cerita dalam game perkenalan itu. Setelah game perkenalan, dilanjutkan dengan game yang dinamai als een kip zonder kop. Game ini dimulai dengan menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” lalu meniru gerak-gerik seekor bebek. Game ini semacam ice breaking untuk acara selanjutnya.
Selanjutnya adalah acara diskusi untuk membahas perkembangan organisasi dan rencana-rencana kegiatan waktu yang akan datang. Ada yang sangat bersemangat berbicara dan membicarakan semua ini. Ada juga yang hanya duduk dengar, ngantuk-ngantuk dan bengong. Tapi semua ini tak bisa dipermasalahkan. Kisah rumit organisasi selalu pasti terjadi. Dalam organisasi, ada tipe manusia seperti sebuah motto Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, United State of America, yakni mens et manus. Ada tipe orang sebagai pemikir (Latin, mens=berpikir) yang berpikir dan banyak berbicara tentang idea. Ada tipe orang sebagai pekerja lapangan (Latin, manus= tangan). Keduanya bersimbiosis mutualis dan kedudukannya sederajat. Bekerja tanpa berpikir akan seperti bebek tanpa kepala (als een kip zonder kop). Berpikir tanpa melakukan seperti bebek tanpa kaki (als een kip zonder foot). Artinya semua akan sia-sia tanpa satu melengkapi yang lain. Dan diskusi pun terus melibas malam larut.
Malam bergerak semakin pekat. Sementara udara dingin semakin membungkus tubuh. Hampir di penghujung hari semua berkumpul di depan gua Maria, Sendang Sriningsih. Hening menyeliputi hati yang menengadah ke langit saat kepala merunduk. Dalam doa Rosario, semua ujud doa disampaikan kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Per Meriam ad Jesum. Dan seraya memohon Ave Maria, ora pro nobis (doakanlah kami). Sebab kita percaya dan yakin bahwa “dengan cintanya sebagai seorang Ibu, Bunda Maria menjaga saudara-saudari Puteranya yang kini masih mengembara di dunia dan masih dirundung bahaya dan kecemasan, sampai diantar masuk ke tanah air yang membahagiakan” (Lumen Gentium, No. 67).
Menunggu PagiSetelah doa malam, doa rosario, tak ada lagi acara selain hanya menunggu pagi. Ada yang memilih untuk cepat-cepat mengurai kisah dalam mimpi di lelapnya tidur. Ada yang menghabiskan waktu dalam cerita (curhat), nyanyi dan poker-pokeran.
Mungkin lantaran kelelahan atau tak biasa bercengkrama saat bulan meninggi, atau karena seorang adik yang diharapkan hadir saat itu tapi tak hadir, beberapa teman dan kae langsung mengambil posisi nyaman untuk beristirahat. Dinginnya udara malam memaksa mereka membentuk formasi tubuhnya senyaman mungkin setidaknya bisa menghalau angin malam. Ada yang seperti formasi pistol revolver, tangan terlentang seperti lukisan karya Leonardo da Vinci dan ada pula seperti formasi kuda laut serta kaki lurus dengan kedua tangan di dada. Ada cerita, seorang teman pria cukup tampan membiarkan dirinya memerangi angin malam yang dingin dengan memberikan sarung tenunnya kepada seorang putri nan ayu dan berkata, “ini tulus lho mba”. Sayangnya, putri nan ayu itu menolaknya dengan halus. Sudah ada sarung lain yang lebih dahulu menghangatkan putri ayu itu. Juga ada seorang adik pria, hitam manis dan cukup tinggi yang menaruh hati pada seorang weta cantik. Karena ia seorang yang sangat pemalu, ia hanya menyimpan dan memendam rasa itu ke alam bawah sadarnya. Tetapi alam bawah sadar punya logikanya sendiri. Ia selalu bocor. Dengan cara yang misterius, alam bawah sadar mendesak rasa itu menyeruak dalam tidur lelapnya. Pria itu mengigau (Manggarai, nupa) dengan bilang, “...hot jacket coklat ket dakun e...”. Kalimut itu disebut berulang-ulang. Beberapa teman hanya tersenyum sebab mereka tahu weta cantik dengan jacket berwarna coklat hanya satu orang. Weta itu bernama Atri. Berbahagialah weta ini setidaknya ia sudah tahu ada satu orang lain yang simpati padanya. So sweet, bukan?
Jalan terbaik untuk mengurai rasa suka adalah cerita kepada teman (curhat, curahan hati) selain menulis atau konsultasi. Atau lebih baik lagi, mengungkapkannya dengan cara apa pun. Karenanya, ada beberapa teman yang memgisi waktu dengan curhat. Curhat tentang asmara dua hati, pria dan wanita. Biasa, semua tentang gonjang-ganjing kasih tersampai dan kasih tak sampai. Jarak dekat pun jarak jauh.
Ada pula yang hanya berdendang dengan iringan gitar. Mereka berdendang raing memecah sunyi seolah sedang bersahut-sahutan dengan nyanyian jangkrik yang memuji alam semesta dan Penciptanya. Harmoni nyanyian itu melahirkan kegembiraan duniawi dan keilahian. Dalam bahasa Yunani, kalos kai agathos, sebuah keseimbangan dari yang baik dan yang indah. Mereka terus bernyanyi sebelum cubit sinar mentari menyentuh kulit. Sementara itu teman-teman yang lain bermain poker-pekeran dengan taruhan menyebut mantan kekasihnya atau seorang yang sementara disukainya.
Hari sudah kembali. Mentari bersinar terang untuk semua orang. Sol omnibus lucet. Ekaristi sudah siap dimulai. Ekaristi kudus menjadi penutup rangkain acara sekaligus sebagai berkat perutusan untuk aktivitas selanjutnya. Ekaristi adalah pancaran sentripetal yang menarik seantero kehidupan umat beriman kepada persatuan dengan Kristus. Dalam ekaristi, Yesus Kristus adalah Sacerdos Magnus in aeternum (Imam yang Agung untuk selamanya). Dan melalui tumbangan tangan imam, Rm. Stefanus Rahmat, kami (peserta ziarah) diberkati dan diutus untuk mewarta kasih kepada semua orang.
Sebelum pulang, kami dengan caranya masing-masing me-memorizing tempat ziarah ini. Berfoto-ria menjadi cara yang paling mudah untuk mengenang kisah di tempat ini. Jepretan gambar yang terbentuk dalam lensa kamera seolah menyiratkan ucapan sayonara dan hati-hati serta datanglah kembali jika ada kesempatan. Mesin kendaran sudah dihidupkan dan siap mengantarkan kami ke tempat di mana kami bertolak. Adios, volveremos a vernos, Sendang Sriningsih. Terima kasih sudah memberi ruang hingga kami menjadi lebih dekat dengan Ibu kami, Bunda Maria.
Djogja, 18 Mei 2011
Alfred Tuname