Rabu, 22 Juli 2009

Parang Tritis

Paris 1

Maka sampailah senyum-senyum itu. Menabrak tebalnya gelap malam. Gertakan gigi melawan dingin. Panas unggun merias jiwa untuk tetap bertahan. Duduk merosatasi pusar terang. Dudukan vertikal kayu menyala merubuhkan kebekuan. Nikmati indah taburan bintang berasi. Terbingkai dalam sarung galaksi. Jiwa tertegun menatap dasyat ciptaan. Malam di tepian paris. Anak-anak Ikamarsta menyentuh bibir manis pantai parang tritis.



Paris 2

Suara bernada menyeruak keheningan. Berbalas pantun dengan nyanyian alam. Gemuruh ombak basahi paris yang kering. Seakan memberi salam selamat datang pada insan
yang kering.

Hentakan senar gitar iringi syair. Anak manusia
sedang bermazmur. Tentang alam ini. Tentang pertiwi. Tentang tanah mbate. Tentang manusia. Tentang cinta.

Koor pagi itu menaungi molas Manggarai bermimpi. Rebah tubuhnya menjamah pasir. Lepas bebas
Dalam dekapan pertiwi. Tidurlah molas sampai pagi menetas.


Paris 3

Bangunan peradapan samar terlihat. Pandangan kabur tinggalkan gelap. Terdengar nyanyian alam pada corong ayam berkokok. Bertabur hiruk-pikuk homo sapiens dalam bising mesin. Berkerumun dan bermain. Kaki-kaki menendang pasir pesisir. Sementara pasang bergemuruh menyambut homo ludens.

Berkejaran riang gembira. Melempar tubuh pada pecahan-pecahan buih. Memurnikan diri dari sendimentasi noda kemarin. Semoga jiwa kembali putih. Lawa ikamarsta kembali.

alfred tuname; Jogja, 20 juli 2009