Selasa, 23 Juni 2009

SAJAK MALAM

Aku merasakan sayap-sayapnya bergetar, dan dengan tenang menghampiriku dalam bayang-bayang malamku. Aku telah lelah dengan kebisingan yang menyelimutiku yang datang dari berbagai sudut yang membuat batin tak berdaya.

Aku merasakannya bagai tetesan embun di musim kemarau, dan membasahi dahaga yang telah lama aku rasakan. Dia datang dengan tenang menyapaku ‘kita harus bangkit’ dengan kepalan tangannya dan menghentakkanku. Dia bagai seorang pujangga yang dengan sesukanya mencoreti dinding-dinding putih dan menjadikannya dengan indah…

Aku harus takluk kepadanya, dan mataku menerawang dalam pekatya kamar dengan hiasan malam, dan membiarkan jiwaku melayang sampai menemukannya dan aku membiarkannya masuk dalam khayalan dan lamunanku.

Aku merasakan bagai sehelai daun tertiup angin di musim gugur, dan aku tahu, sekali lagi angin kencang meniupku aku tak tahu aku akan berada dimana. Tapi aku takkan melepasnya dia menghilang begitu saja.

Aku ingin dia membawaku kemana saja sesukanya, dan aku membiarkan jiwaku menemukan apa yang akan dia cari, dengan segala keceriaannya.

Aku ingin dia tertawa bagai prajurit-prajurit roma yang menang perang tanpa mengingat trauma-trauma yang pernah terjadi.

Aku ingin bernyanyi tentang kedamaian dan ketenangan, yang menggetarkan jiwa penuh asap kebisingan dan dengan langkah-langkah sepatu yang menghilang di gang-gang yang berselimutkan raga kegerahan. Aku hanya menginginkannya tetap tenang, walau berbagai teori yang masuk kekepala dan menghantam otak kiri dan otak kanan yang membuatnya bekerja keras dan, Aku…

Aku sedikitnya menemukan dirimu walaupun hanya setitik embun, tapi itu cukup menyegarkanku, dan sedikit menghilangkan rasa dahaga yang bertahun-tahun telah aku rasakan.

oleh Kristo "Fabregas" Jaya
jogja, mei 2008

Rabu, 17 Juni 2009

Pudarnya Budayaku

Pudarnya Budayaku

Budaya Manggarai yang kita kenal sangat kharismatik akhir-akhir ini mulai luntur. Hal ini disebabkan karena orang Manggarai sebagai pewaris tunggal budaya tersebut tidak mampu menjaga dan mewariskan secara turun temurun.Hal ini terlihat jelas pada perkembangan generasi sekarang. Pertanyaan mendasar di sini adalah siapa yang salah?

Orang tua adalah orang yang pertama kali harus menurunkan warisan ini kepada anak-anak(generasi penerus). Di dalam keluarga harus di ajarkan mengenai tatanan budaya seperti silsilah keluarga, struktur kepemimpinan dalam masyarakat adat(tu'a golo,tu'a teno dll), ritual-ritul adat, bahasa adat(go'et)dll. hal-hal tersebut di atas harus di pelajari dan di pahami oleh setiap masyarakat adat Manggarai secara turun temurun.
Pada saat sekarang ini nilai budaya kita mulai bergeser dan lambat laun hilang dari diri kita sebagai pewaris tunggal. pergeseran ini disebabkan oleh beberapa faktor:

1.pewaris tidak mewariskan budaya
2.yang di wariskan tdak memahi arti budaya
3.kurangnya rasa memiliki dari yang di wariskan
4.kuatnya pengaruh budaya luar yang masuk
5.lemahnya peran pemerintah dalam melindungi budaya setempat

Kelima faktor di atas dapat di minimalisir kalau kita berusaha untuk selalu mencintai dan merindukan akan budaya kita.Hal ini pernah dilakukan oleh masyaraka adat Manggarai yang tinggal di yogyakarta dan solo(dan juga oleh kota-kota lain). bentuk kecintaan akan budaya manggarai di selenggarakan pentas caci dan tarian adat yang di laksanakan bulan oktober ' 08. Selain itu dalam rangka Hut NTT juga diadakan pentas caci dan tarian adat. Kegiatan ini harus diapresiasikan dan di laksanakan secara terus menerus. Sebagai pewaris tunggal budaya Manggarai tugas kita adalah
1. menjaga
2. menolak intervensi dari luar yang merusak budaya kita
3. mewariskan sampai tdak ada lagi orang Manggarai di bumi ini
4. jangan malu dan harus berani memperkenalkan kepada orang lain

oleh Heribertus Priyono (nggejangmilano@yahoo.co.id)